Biasa Hidup Di Batas Minimal Memudahkan Kita Bersyukur
Di balik sekolah yang menurut orang lain tak favorit, ada
satu rasa syukur lain dan ada pelajaran hidup yang saya pelajari. Memang saya
bukan anak kongklomerat yang sedang menyamar menjadi anak miskin dan sekolah di
tempat terpinggirkan. Saya juga masuk dalam klasifikasi masyarakat remah-remah,
namun kali ini ijinkan saya berandai-andai menjadi anak konglomerat yang sedang
belajar kehidupan dengan masyarakat biasa-biasa saja.
Foto : Elisa |
Ada satu hal yang saya pelajari saat saat sekolah di sekolah
tercinta, ketika kita sejak awal sudah terbiasa hidup minimum. Maka saya lebih
mudah bersyukur dengan nominal materi yang banyak. Dimana, materi itu mungkin
bagi mereka kecil dan tidak ada artinya. Tapi bagi saya yang mendang-mending,
itu nilai yang besar. Dan ini bukan masalah nilai uang, tetapi nilai rasa
syukur kita dengan tulus.
Rasa syukur yang tulus inilah secara cepat kita mendadak
menjadi bermental kaya. Mental kaya ini statusnya lebih tinggi daripada status
kekayaan secara material. Karena orang yang memiliki kekayaan dan harta
melimpah belum tentu memiliki mental kaya. sebaliknya, orang tiak memiliki
harga benda dan uang secara fisik bukan berarti dia miskin. Bisa jadi, dia
orang yang paling kaya.
Kita pernah melihat, orang-orang yang tidak punya lebih
mudah memberi dibandingkan mereka yang memiliki harta berlimpah. Karena orang
yang tidak punya memiliki kelapangan hati, dan rasa welas asih yang tinggi. Mereka
menjalani hidup dengan hati, bukan menggunakan pikiran mereka. Sikap baik
inilah yang membuat mereka memiliki ketentraman jiwa. Dengan keterbatasan,
mereka diberi rasa syukur dan hidup merasa cukup.
No comments: