Leftover Pizza
“APA-APAAN SIH?!”
Foto: Irukawa Elisa
Jam istirahat pertama di kelas sebelas
tidak seperti biasanya. Beberapa anak yang kebetulan masih tinggal di kelas
diam mematung. Pandangan mereka terkunci pada Gina dan Raras.
“Aku gak mau kalau nanti nilaiku jelek
gara-gara kamu!” Gina berkata dengan nada tinggi. Ia berdiri condong ke depan
dengan kedua tangan bertumpu di depan meja Raras. Wajahnya memerah karena
marah.
Setelah mata pelajaran bahasa Inggris
berakhir, Gina memburu Raras. Bu Wiwit, pengampu mata pelajaran bahasa Inggris
yang terkenal pelit nilai itu baru saja memberikan tugas yang sulit. Anak-anak
diminta untuk membuat pementasan drama berbahasa Inggris. Tugas ini dikerjakan
secara berkelompok dalam waktu dua minggu. Masing-masing kelompok berangotakan
6 orang, yang anggotanya ditentukan oleh Bu Wiwit.
“Bukan aku yang milih buat sekelompok
sama kamu. Jangan tiba-tiba nyalahin aku, dong!” Raras menatap Gina tajam.
Gadis berkacamata itu berusaha untuk tidak terbawa emosi, tetapi kata-kata Gina
benar-benar keterlaluan.
“Iya karna emang nggak akan ada yang
mau sekelompok sama kamu!” cerca Gina. “Siapa coba yang mau sekelompok sama
orang kayak kamu? Berangkat sekolah selalu telat, suka tidur di kelas, tapi
pulang paling cepet. Sekelompok sama kamu yang ada kita doang yang susah!”
Raras menggertakkan gigi mendengar kalimat Gina.
“Kamu tuh sok sibuk tau, Ras!” Gina
melanjutkan dengan tatapan menghakimi. “Ga pernah ikut kegiatan sekolah, ga
ikut main sama anak-anak. Kamu tuh selalu sendirian, sibuk sendiri. Makanya ga
ada yang mau barengan sama kamu.”
Gina menarik nafas panjang. Ia
menjauhkan tangannya dari meja Raras dan berdiri tegak. Matanya memandang Raras
rendah. Raras membalasnya dengan tatapan penuh amarah, meskipun ia tidak
membalas. “Sekarang gini deh, menurut kamu, kamu bisa nggak, commit buat latian tiap sepulang
sekolah?”
Raras terdiam. Gina menunggu
jawabannya sambil melipat tangan di depan dada. Setelah beberapa saat, Raras
mendecakkan lidahnya. “Aku ga bisa janji,” jawabnya singkat.
“Tuh, kan!” kata Gina dengan nada
frustasi. “Ternyata emang sulit, ya, urusan sama kamu. Kamu tu sadar ga sih,
kalo orang-orang males sama kamu?!”
Raras tetap tidak bergeming. Matanya
mengikuti setiap gerakan Gina dengan was-was. “Ah, nyusahin kamu Ras. Emang
dasar, leftover pizza!”. Gina mengumpat
sambil berlalu. Pandangan Raras mengikutinya melewati pintu.
-------
Satu minggu telah berlalu. Selama satu
minggu, Gina memimpin kelompoknya mempersiapkan pementasan. Tentu saja, kecuali
Raras. Selama proses itu berjalan, Gina dan Raras seolah dua orang asing.
Mereka tidak saling menegur, bahkan membuang muka jika berpapasan.
KRRRRINGGG
Bel tanda upacara berbunyi. Seluruh
warga sekolah segera menuju lapangan untuk melaksanakan upacara rutin hari
Senin. Upacara berlangsung seperti biasa. Beberapa anak mendapatkan kesempatan
untuk menjadi petugas upacara, dan ada beberapa anak yang terpaksa berdiri di
barisan khusus karena melanggar aturan berpakaian.
Gina berdiri di salah satu barisan.
Sebagai anak teladan, ia mengenakan pakaian dengan tertib dan mengikuti upacara
dengan seksama. Susunan acara upacara berjalan seperti biasa. Menurut
perhitungannya, upacara akan berakhir sebentar lagi.
“Nah anak-anak, di sini saya sekaligus
akan menyampaikan kabar gembira,” Kepala Sekolah, Bu Sita, menyampaikan
pengumuman. “Sekolah kita adalah sekolah unggulan. Siswa-siswi di sekolah kita
telah menuai berbagai prestasi, baik akademik maupun non-akademik. Baru-baru
ini, salah seorang siswi di sekolah kita telah berhasil menerbitkan sebuah buku
novel. Ia telah berhasil menjadi penulis. Bukunya akan dicetak, dan dijual di
toko-toko. Hebat, bukan? Yuk, beri tepuk tangan untuk Raras Andini dari kelas
sebelas!”
Deg! Gina terbelalak. Ia tidak percaya
dengan apa yang baru saja dia dengar.
----
“Ras,” seseorang menepuk pundak Raras.
Raras menoleh.
Gina tersenyum tipis. “Yang tadi
disebutin Bu Sita, beneran kamu?”. Raras menatap lurus pada Gina. Ia mengangguk
kecil tanpa menjawab.
“Jadi selama ini kamu sibuk karena
lagi nulis novel?” Mata Gina membesar. Raras mengangguk lagi. “Astaga, Ras.
Keren banget!”
Raras terkejut melihat reaksi Gina.
Menyadari hal itu, Gina cepat-cepat melanjutkan. “Ehm, Ras. Aku nggak tau kalau
selama ini kamu lagi berusaha mewujudkan mimpimu. Kamu bukan lagi
males-malesan, justru kamu sedang berjuang. Tapi di saat kamu berusaha keras,
aku malah ngehina kamu.”
“Aku minta maaf...” suara Gina sedikit
memelan. Ia memandang Raras dengan sedikit takut, kalau-kalau Raras tidak
memaafkannya. Gina tahu betul kesalahannya, dan meskipun ia malu, ia mengerti
bahwa ia harus meminta maaf untuk hal itu.
“Nggak papa, Gina. Iya aku maafin...”
di luar dugaan, Raras justru tersenyum lebar. Ia menepuk bahu Gina sambil
memamerkan lesung pipitnya. Mendengar hal itu, wajah Gina menjadi girang. “Eit,
tapi ada syaratnya!” kata Raras buru-buru.
“Hah? Apa?” Gina mematung, terkejut.
Melihat reaksi tersebut, Raras tertawa. “Syaratnya, kamu harus terima aku jadi
anggota kelompok bahasa Inggris.”
“Yaelah.. aku kira apa!” Gina berkacak
pinggang, pura-pura kesal. “Hahaha.. santai lah kalau itu, nanti kita latihan
bareng-bareng yaaa...” lanjutnya sambil tertawa. Raras mengacungkan jempol,
lalu keduanya berjalan beriringan.
Raras tidak masalah jika dirinya
disebut leftover pizza, potongan
pizza yang tidak diinginkan. Karena, ia tidak pernah bermaksud untuk
mengacuhkan teman-temannya. Setiap hari, ia bergegas pulang untuk melanjutkan
karyanya hingga larut malam, sehingga keesokan harinya bangun kesiangan dan
terlambat masuk sekolah. Raras bukanlah pemalas. Justru selama ini Ia sedang
berusaha keras mewujudkan cita-citanya menjadi penulis. (Sabila Royana)
Dipublikasikan Di Tabloid Bias, Edisi 2, 2019.
No comments: