GUNDALA
Joko Anwar baru saja memperkenalkan karya terbarunya
–sebuah film mengenai pahlawan berkekuatan super bernama Gundala. Alkisah, Gundala
mendapat kekuatan dari petir. Ia menjadi kuat apabila mendapat sengatan listrik
dari petir, dan dapat menyalurkan energinya menjadi petir.
Tokoh Gundala sebenarnya merupakan tokoh pahlawan super lokal klasik ciptaan Harya “Hasmi” Suryaminata. Pada tahun 1970-an, Gundala menjadi hit melalui komik karya Hasmi. Cerita tentang Gundala kemudian diangkat kembali oleh Joko Anwar bersama Screenplay Productions dalam bentuk film. Kendati cerita yang disajikan dalam film cukup berbeda dengan cerita asli dalam komik, film Gundala ini adalah film aksi yang menawan dan patut ditonton.
Sancaka (diperankan oleh Abimana Aryasatya), identitas
asli Gundala, adalah seorang penjaga keamanan di pabrik percetakan surat kabar
The Djakarta Times. Jakarta, dalam film tersebut, diceritakan sebagai tempat
yang sangat suram dan semrawut. Orang-orang
hidup sesak dengan ketiadaan aturan. Masyarakat kelas bawah tersengal-sengal
untuk bertahan hidup. Sementara masyarakat kelas elit hidup dalam dunia mereka
sendiri. Seluruh penjuru kota merupakan tempat terjadinya kejahatan, kekerasan,
dan ketidakadilan. Dalam potret yang caruk maruk tersebut, Sancaka yang
memiliki kekuatan super praktis menjadi pahlawan. Kehadirannya sebagai Gundala
kemudian menjadi harapan bagi semua orang, termasuk temannya sendiri, Wulan
(Tara Basro).
Kritik pada Isu Sosial
Pada umumya, cerita mengenai
pahlawan super memiliki rumus yang sama. Pemeran utama adalah orang baik yang
naif, sementara tokoh antagonis muncul dengan keinginan untuk menguasai dunia.
Begitu pula dengan film Gundala. Ketika pertama kali dapat memenangkan
perkelahian, Sancaka tidak serta merta menerima kenyataan bahwa dirinya
memiliki kekuatan super. Ia perlu waktu untuk menyadari bahwa bantuannya memang
dibutuhkan oleh orang-orang di sekitarnya. Dari situlah, Sancaka menjalani
perannya sebagai Gundala, hingga akhirnya ia bertemu dengan musuh utama, Pengkor
(Bront Palarae).
Akan tetapi, bukan Joko Anwar
namanya jika tidak dapat membuat sesuatu yang biasa menjadi lebih istimewa.
Dalam film Gundala, cerita diramu sedemikian rupa sehingga sarat pesan. Di
samping penuturan cerita yang segar dan menghibur, film ini banyak mengangkat
isu-isu yang terjadi di masyarakat. Salah satu isu yang paling kuat ditampilkan
adalah isu trauma yang terjadi pada anak-anak. Sambil membangun karakter
Sancaka dan Pengkor, film ini membuat penonton mengingat kembali bahwa apa yang
dialami seseorang pada masa kanak-kanak akan memengaruhi perangai dan dirinya
di masa yang akan datang. Selain itu, Joko juga menitipkan kritik terhadap isu
sosial. Dalam film, anggota parlemen dan wakil rakyat digambarkan seperti
barang yang dapat dibeli. Mereka bergerak dengan lamban, asumtif, dan cenderung
berorientasi pada kepentingan pribadi. Kelompok masyarakat kelas bawah –yang
diwakili pedagang pasar, pengamen, dan kumpulan preman, juga memiliki masalah
mereka sendiri. Mereka terlalu sibuk dengan diri sendiri, sehingga mengabaikan
orang lain yang membutuhkan pertolongan. Kondisi-kondisi ini digambarkan dengan
terus terang dalam film, seolah-olah penonton diminta untuk melihat kenyataan
yang terjadi pada kehidupan masyarakat saat ini.
Tata Kamera dan Tata Suara yang
Berkesan
Keasyikan menonton film Gundala
tidak hanya datang dari ceritanya yang menarik. Membuktikan nama besarnya, Joko
Anwar memberi berbagai bumbu pelengkap, sehingga film ini dapat menjadi
santapan yang nikmat. Sepanjang film, Joko konsisten menghadirkan gambar-gambar
yang memikat. Setiap gambar memiliki warna dengan tone tertentu untuk mempertegas suasana, didukung set latar yang
detail dan sungguh-sungguh. Penatnya kehidupan masyarakat kelas bawah digambarkan
dengan tone yang suram, serta suasana
yang sesak, padat, penuh debu dan polusi. Di sisi lain, tone hangat, lampu-lampu kekuningan, serta latar yang klasik hadir
untuk menggambarkan kehidupan masyarakat kelas atas yang elit dan mahal. Tidak
sampai di situ, film Gundala juga dipenuhi tata kamera dan scoring yang ciamik. Setiap adegan dalam film Gundala diambil dari
sudut pandang kamera yang sinematik, kemudian dilengkapi dengan efek suara yang
mendukung. Misalnya, untuk memunculkan perasaan panik dan memicu adrenalin, adegan
berkelahi diambil dengan tata kamera yang bergoyang dan diberi efek suara yang
ribut. Dengan demikian, setiap momen dan
scene dalam film dapat tampil
maksimal dan berkesan. (Billa)
No comments: