Sistem Zonasi Sekolah, Sebaiknya Ditinjau Ulang
Kebijakan zonasi untuk memilih sekolah di Yogyakarta sudah
berlangsung selama 2 tahun. Diawali dari tahun 2017 lalu, pada prinsipnya
kebijakan ini bertujuan untuk meratakan kualitas pendidikan di Indonesia. Meski
begitu kebijakan ini cukup membuat pro dan kontra diantara para siswa,
orangtua, dan pihak sekolah tentunya.
Foto: Elisa |
Hal tersebut dirasakan sendiri oleh Andika, siswa kelas 11 IPA 1 SMA
Negeri 11 Yogyakarta, yang mengalami sistem zonasi. Menurut Rizi, sistem zonasi
ini seperti pisau yang jika digunakan dengan baik akan bermanfaat tetapi jika
di salahgunakan akan merugikan. Rizki sendiri mengaku terbantu dengan adanya
sistem zonasi. "seneng juga sebel, senengnya karena sekolah yang pamornya
bagus jadi turun pamornya, sebelnya sekolahanku juga kena," ungkapnya.
Hal berbeda diungkapkan Rizki Firmansyah siswa kelas XI IPA 1, SMA
Negeri 11 Yogyakarta yang mengaku kurang setuju dengan adanya sistem zonasi. Ia
mengaku sebal melihat ketidak adilan di sana.
"Karena lihat mereka yang punya nem nem menengah kebawah bisa masuk
sekolah ternama, sedangkan yang nem nya tinggi dihalangi sama jarak antara
rumah dengan sekolahnya itu," jelasnya. Andika juga menyebutkan sistem
zonasi hanyalah sebagai batu loncatan untuk pemilik nem rendah dan batu
halangan buat pemilik nem tinggi.
Namun hal berbeda dikatakan oleh Dewata Panglipur Alhamsyah, siswa
kelas X SMA Negeri 4 Yogyakarta, yang mengalami sistem zonasi pada tahun ini.
Alham lebih bijak melihat dalam menyambut kebijakan baru. Ia menilai sistem
yang ditujukan bertujuan untuk membuat siswa tidak menempuh jarak yang jauh
saat sekolah, meskipun akibatnya akan banyak siswa yang tidak bisa masuk
sekolah impiannya atau malah dipermudah.
Alham justru mengusulkan sebaiknya kuotanya diperbesar untuk luar
zona namun zona nya diperkecil. "Untuk sistem zonasi sma sudah efektif,
meskipun radiusnya masih terlalu jauh untuk beberapa orang," katanya.
Ia pun mengaku senang saat ini bisa masuk SMA Negeri 4 Yogyakarta
dengan sistem zonasi. Meski nem nya tidak terlalu tinggi, sistem zonasi cukup
membantu dirinya masuk ke sekolah yang ia inginkan. "seneng sih, soalnya
emang dari dulu sebenernya mau masuk sma 4 dan kebetulan sma 4 masuk dalam zona
ku,"
Sementara Rizki dan Andika menyatakan hal sebaliknya. Rizki merasa
kebijakan ini kurang bagus karena adanya zonasi belum tentu bisa meratakan
persebaran siswa yang "lebih" dengan yang "kurang". Rizki
menyarankan sebaiknya lebih dioptimalkan dalam membuat kebijakan, misalnya untuk
setiap siswa yang masuk diberi tes supaya bisa melihat seberapa kompeten kah
siswa itu. Andika juga membenarkan, akan
lebih baik jika ada pembagian kuota sehingga tidak mutlak semua berdasarkan
zonasi. Dibagi kuota untuk nem rendah, nem tinggi, dan KKM.
Saat disinggung tentang salah satu alasan sistem zonasi adalah untuk
meratakan kualitas sekolah, Rizki menilai itu hal yang bagus. Meski begitu menurutnya
stigma sekolah favorit sebenarnya dihasilkan oleh para siswa yang berprestasi
di sekolah tersebut. Untuk menghilangkan pikiran seperti itu maka para siswa
seharusnya bisa berprestasi dalam bidang yang mereka sukai. Sekolah yang bisa
meningkatkan bakat dan kemampuan siswa sekolah tersebut semaksimal mungkin.
Alham juga menambahkan sebenernya stigma SMA favorit kan prespektif
masing masing, kemana siswa itu akan melanjutkan studi di SMA itu adalah
pilihan. Namun dikatakan favorit karena banyak yang ingin melanjutkan di SMA
yang sama.
Menurut Alham, SMA favorit adalah SMA yang bisa memenuhi kebutuhan
fasilitas dari minat siswa, atau setidaknya mendukung. Pleh karena itu yang
dimaksud SMA favorit bisa berbeda. Untuk ke depannya, Andika memiliki harapan
semoga sistem zonasi bisa lebih disempurnakan dan dapat bermanfaat.
"Sekolah yang menjadi fasilitas untuk anak yang kurang dalam hal apapun
menjadi hebat dalam hal apapun," tutupnya. (Intan)
Dipublikasikan
Tabloid BIAS, Edisi 2, 2018
Sistem Zonasi Sekolah, Sebaiknya Ditinjau Ulang
Reviewed by elisa
on
Sunday, February 17, 2019
Rating:
No comments: