Poros Kehidupan
Hidup itu berputar,
seperti roda, suatu saat kita berjaya di atas, saat
lain kita
tergelincir
ke bawah. Kadang kita digempur suka cita, kemudian dirundung duka.
Seperti itulah pakemnya. Tetapi kenyataan tidak sesederhana
itu.
Aku tidak tahu apa yang salah. Mungkinkah penampilanku?
Mungkinkah sifatku? Apapun itu, sebagian dari mereka tidak menyukaiku. Aku lupa
bagaimana mulanya hingga aku dikucilkan di kelas. Sejak duduk di kelas XI SMA
aku merasa begitu terasing. Aku
sengaja tak ingin menonjol, seorang introvert, tidak suka
menyibukkan diri dengan hal-hal trivia. Pengecut, penakut, itu yang mereka kadang
bisikkan padaku. Mereka mengatakan aku kurang cakap, plinplan, tidak tegas, dan sebagainya.
Serangan verbal dan lirikan tajam mereka membuatku merasa
kecil dan inferior.
Walau selama ini aku mampu bertahan
dengan semua tekanan itu, namun suatu wadah pasti akan merengkah bila diberi muatan
berlebih. Hingga suatu hari pikiran kutersentak, menyadari bahwa tidak mungkin bisa mengubah perasaan semua orang terhadapku,
jika aku tidak mengoreksi diriku sendiri. Ada bisikan keras bergaung di alam bawah
sadar. Ya, aku
harus melakukan sesuatu. Aku bisa merasakannya,
nyalangapi yang membara membakar semangat, gelombang dorongan untuk maju. Aku bukan orang seremeh itu.
Aku harus bisa buktikan bahwa aku mampu.
Aku mulai merombak diriku perlahan,
belajar lebih giat, mencoba menumbuhkan rasa percayadiri dan lebih terbuka. Ketika sekolahku sedang Oprek OSIS
aku berusaha berpartisipasi di dalamnya.
Inilah caraku untuk balas dendam dengan membuktikan bahwa
aku cukup tegas, dan agar tak dipandang sebelah mata. Seleksi
OSIS ini lumayan ketat dan terdiri dari tiga sesi. Tahap pertama adalah tes wawancara. Aku mempersiapkan diriku
dengan baik. Takdinanya,
aku berhasil lolos. Aku piker
teman-teman sekelasku pun tak dapat mereka, karena kemudian timbul pro-kontra,
banyak dari mereka yang merasa sangsi.
Seseorang menepak punggungku
kelewat keras. Aku sontak menoleh. Raka, Dimas, dan Arya mengelilingi mejaku. “Dias! Kamu lolos? Seriusan? Wah, bener-bener nggak disangka!
Kok, tumben kamu mau ikutan yang begituan.Aku piker kamu cuma bisa apa. Selamat, ya,” ujar Raka sambal tergelak.
Aku menelan ludah. Dia menyindirku, aku tahu.
Aku memberikan
senyum canggung, “Ah, iya, makasih,
ya.” Aku bisa melihat dari dalam hatinya bahwa dia menyepelekanku. Dan batinku
bergejolak panas, akan aku sodorkan kemenanganku tepat di hidung mereka.
Aku berhasil diterima menjadi anggota OSIS, namun aku tak mau
berhenti sampai di situ.
Aku berusaha keras, aku belajar, bertanya, mengasah semua kemampuanku, terutama menjadi lebih berani dan tidak klemat-klemet. Di dalam hati aku sudah berkoar menyatakan perang,
dan berjanji kepada diriku sendiri untuk menang.
Akhirnya aku
mencapai titik dimana aku menjadi salah satu dari tiga calon ketua OSIS. Dan hari inilah
saat pemilihannya, saatnya kami untuk berdiri di depan mimbar dan berpidato.
Sekonyong-konyong jantungku berdegup liar ketika aku melangkah ke arah mimbar.
Ada ratusan pasang mata memandangku. Perutku dililit rasa mual, aku berkeringat
dingin.Tanganku gemetar, tapi aku harus bisa. Aku menarik napas panjang, berdoa dalam hati,
mengingat kembali semua perjuanganku.
Dias, kau pasti bisa. Lalu
pidatoku pun dimulai.
Aku menjelaskan visi-misiku dengan
terperinci, semua yang aku siapkan mengalir begitu saja. Suara yang sempat
tak ingin keluar kini menjadi lantang.
Anggukkan dan senyuman dari wajah-wajah di depanku mengindikasikan
bahwa aku mampu meraih ke dalam mereka. Semua bertepuk tangan. Aku melemparkan pandang, melihatorang-orang yang dulu menghinaku. Lihat, aku bisa ‘kan?
Aku tersenyum penuh kemenangan. Balas dendam dengan cara seperti ini memang
jauh lebih membanggakan.
Walau akhirnya aku menjadi sekretaris OSIS dan bukan
ketuanya, tapi aku tetap senang bukan main. Menurutku ini sebuah prestasi serta
pembuktian diri. Ada pengakuan dan
kekaguman ketika aku memandang lurus ke mata mereka yang melihatku. Untuk saat ini
Aku berubah, teman-teman menerimaku, menghormatiku. Aku bukan lagi anak plin
plan yang tak tanggap. Pakem bahwa kehidupan bak
roda yang
berputaritu memang benar, dan kitalah sebagai
poros yang menggerakkanya. (Adhisti Eka
Putri)
Dipublikasi Tabloid BIAS, Edisi 3, 2017
Poros Kehidupan
Reviewed by elisa
on
Friday, January 04, 2019
Rating:
No comments: