Rahasia Tuhan
Saat
itu usiaku masih sangat muda,
dan
aku belum mengerti makna hidup bagiku.
Aku
tidak mengerti apa yang terjadi dengan diriku ini, seolah merasa tidak berguna,
lihatlah, aku duduk termenung, tidak ada siapa-siapa disampingku, mataku menatap
harapan kosong, hampa, hampa sekali hatiku ini, tidak menghiraukan sama sekali
apa yang terjadi di sekitarku.
Sesaat
melihat masa laluku ketika mereka merasakan kesusahan dan kesedihan tidak
sedikitpun aku peka, aku gembira, aku senang, aku berfoya-foya, aku tidak tahu
siapa selain diriku yang sedang bahagia saat itu, benar-benar jahat entah setan
apa yang merasuki tubuhku.
@http://bit.ly/2qwkC7U |
Lantas
aku bertanya, siapakah aku? apakah aku ditakdirkan seperti ini? apakah aku bisa
memperbaiki kesalahan-kesalahan di masa lalu? yang ada sekarang hanya
penyesalan, memang benar kata orang penyesalan itu selalu datang di akhir, dan
semua harapanku tiba-tiba saja runtuh, kenangan masa lalu sirna begitu saja.
Lagi-lagi
aku bertanya pada diriku sendiri tapi tetap sama jawabannya hanyalah penyesalan, tubuhku lunglai, nafasku mulai
berhembus pelan, tidak ada daya dalam diriku ini.
Kupejamkan
mataku
“Oh....
Tuhan aku hanyalah makhluk lemah dihadapanmu, akankah engkau mengakhiri segala
penderitaanku ini, hanya engkaulah yang bisa membebaskanku dari
belenggu-belenggu dosa yang telah aku perbuat, sejenak aku berdoa dalam hati,
semua aku serahkan padamu... Tuhan”
Sedikit
demi sedikit aku mulai tersadar ketika angin semilir menyentuh kulitku, sontak
bulukudukku merinding hingga darah mengalir begitu cepat sampai ke otak, semua
syaraf dalam tubuhku seakan dibangkitkan lagi dari tidur, dan aku merasakannya.
Aku
terbangun dari halusinasi yang telah membelenggu pikiranku ini, mulailah aku
membuka kedua mataku, perlahan-lahan hingga terbuka secara utuh, akankah ini
jawaban dari Tuhan, aku bertanya dan lagi-lagi tidak ada jawaban untukku.
Tapi
ada sedikit harapan datang dan aku meyakininya, untuk sementara aku menebak
kepastian itu, telah dibukakan pintu hatiku, kepekaan mulai terasa, kedua
mataku disuguhkan pemandangan yang tidak biasa aku lihat sebelumnya, hamparan
sawah nan hijau membentang luas memenuhi setiap petak lahan di tempat sekarang
aku berada, dan lama-kelamaan aku mulai terbiasa, rasa sedihku perlahan mulai
kulupakan untuk sesaat, berhektar-hektar tanaman padi yang masih menghijau
menjulur ke atas dan berbaris rapi seakan padi itu melenggak-lenggok mengikuti
arah angin yang menggerakkannya.
Tiba-tiba
bulu kudukku bergidik lebih terasa, kini angin lebih kencang seperti badai yang
mengamuk
“Wusssttt......
“, tubuhku tertiup angin, rambutku terberai dengan sendirinya, dingin dan
dingin, suasananya telah berubah, aku peluk diriku sendiri agar hangat,
kugosok-gosok kedua telapak tanganku dibahu, semakin lama semakin terasa,
tubuhku yang lemas berubah menjadi hiperaktif, bergerak dan terus bergerak agar
diriku tidak kedinginan.
“Sssstttt.....
dingin sekali,” aku masih duduk ditempat
yang sama, aku melihat ke atas, redup, sinar matahari tidak begitu terang
sehingga dengan mudahnya aku membuka mata selebar-lebarnya, waktu itu sinar matahari
tertutup awan, aku berharap awan itu segera pergi agar sinarnya bisa
menghangatkan tubuhku yang sedang kedinginan.
“Dasar
bodoh siapa yang akan mendengar harapanku itu”
Aku
kembali melamun dan merenung, sepintas ingatanku terbawa ke masa lalu
seakan-akan aku berperan di dalamnya dimana kesedihan dan kesusahan yang
menimpa diriku, aku mencoba untuk merasakannya, miris, jika aku bandingkan dengan
kehidupan glamor yang aku lakukan di masa itu.
Aku
mengubah posisi dudukku, kulipat kedua paha kaki hingga menyentuh dada lalu
kutenggelamkan kepalaku di antara kedua paha itu, sambil kurangkul belakang
kepala dengan kedua tangan hingga kepalaku benar-benar tersembunyi, disaat
itulah aku merasakan kepedihan yang mendalam, sepertinya semua yang kualami
saat itu hilang seketika, tubuhku yang kedinginan tidak kurasakan lagi, keadaan
yang ada disekilingku pun aku juga tak tahu.
Seolah
semua pancaindra tidak kumiliki, hanya mata batinku yang sedang bergejolak,
seandainya saja ada harimau di sampingku dan dia siap untuk memangsa aku pun
dengan rela memberikan tubuhku pada sang harimau.
Benar-benar
sudah pasrah, introspeksi yang mendalam dan berlebihan atas segala kesalahan
yang aku lakukan seakan membuat diriku tidak berdaya, dan pada akhirnya aku
meneteskan air mata yang sebelumnya belum pernah aku rasakan karena tertutup kesombongan
dan gaya hidup serba mewah.
Satu,
dua tetes air mata mengalir membasahi wajah, kepedihanku mendalam, nafasku
tersengal hingga tersedu-sedu, tidak kuat rasanya menahan air mata ini.
“Oh.....
Tuhan hapuslah air mataku ini agar aku kuat menahan segala penderitaan,”
beberapa kali aku berharap beberapa kali juga aku semakin merasakan kepedihan
yang semakin mendalam, bahkan lebih menyiksa dari sebelumnya.
“Duarr.....
“ suara guntur menggelegar di antara sekumpulan awan hitam yang berada tepat di
atasku, kilatan-kilatan cahaya petir menyambar-nyambar seolah memberikan
suasana seram apalagi aku berada di tengah-tengah sawah yang bisa saja dengan
sekali tebasan petir itu aku bisa langsung tewas, tapi tidak sedikitpun aku
merasa ketakutan menghantui diriku, sudah aku katakan sebelumnya kalau pikiran
dan hatiku sedang dibelenggu oleh dosa-dosa yang telah aku perbuat di masa
lalu.
Satu
tetes, dua tetes air hujan turun membasahi bajuku yang sudah kusut kemudian
meresap di antara kain yang aku pakai, aku tidak menghiraukannya, memang belum
sampai aku rasakan hingga ke dalam tubuhku yang sedang duduk terpaku dengan
pilu, menangis dan terus menangis hingga akhirnya hujanpun turun rintik-rintik,
sesaat baju yang aku pakai masih bisa menahannya tapi lama-kelamaan basah juga.
Semakin
lama semakin deras air hujan mengalir dari ujung rambut sampai membasahi
seluruh tubuhku, aku bisa merasakannya, tapi saat itu aku masih berada dalam
bayang-bayang kepedihan, jiwa dan ragaku serasa tidak menyatu, betapapun aku
takluk pada belenggu-belenggu dosa, ragaku tetap tidak bisa menolaknya, setiap
peristiwa yang terjadi di alam semesta ini ragaku selalu menjadi
dinding-dinding penahan dan pastinya aku bisa merasakan hal itu, masalah
sesungguhnya ada di hati dan pikiranku, sungguh tak senyawa memang.
Kini
aku jadi mengerti bahwa manusia tidaklah sempurna, dan Tuhan selalu memberikan
kelebihan untuk ketidaksempurnaan itu, seandainya aku bisa mengerti, aku terus
mencoba dan mencoba untuk berpikir, segala sebab pasti ada akibat, aku terus
memutar-mutar rahasia Tuhan dalam kepalaku hingga aku benar-benar mengerti.
Benar
juga air hujan itu membasuh wajahku tak henti-hentinya, semakin lama ragaku
semakin lemah, kulitku yang kencang kini menjadi keriput, bibirku pun sudah memecah
dan memutih.
Dalam
ketidakberdayaan aku seperti terbangun dari mimpi, wajahku tampak sayu dan
pucat, lihatlah bibirku mulai bergetar tidak karuan, lalu kubuka mataku perlahan-lahan,
agak lengket tapi lama-lama sudah terbiasa hingga terbuka secara utuh.
Pandanganku agak berbeda dari sebelumnya, aku angkat kepalaku memandang jauh tidak
terbatas, gelap dan kabur, pandanganku tidak jelas mungkin karena hujan yang
begitu lebat.
Hawa
dingin kurasakan hingga menusuk ke dalam tulang, tidak kuat lagi, mulutku
terbuka, menyeringai, dan sekilas saat itu aku mengerti apa yang aku pikirkan
berbeda sekali dengan yang aku rasakan, semua tampak sekali berbeda, sangat
jelas, dan sepertinya aku puas, lama-lama mataku tidak kuat untuk menahan,
perlahan selaput mataku menutup, apa yang aku lihat terakhir saat itu menjadi
pesan terakhir buatku dan aku simpan baik-baik dalam kepalaku hingga akhirnya aku
terjatuh ke samping seperti daun yang layu.
“Bruukk.......
“ aku terkapar, posisi tubuhku tidak berubah masih sama seperti semula, tapi
lihat aku sudah tidak berdaya, mataku terpejam, dan entah kemana jiwaku akan
pergi, aku pasrah padamu Tuhan.
Perjalanan
waktu tidak akan pernah berhenti, detik, menit, jam, semua akan sirna seiring
berjalannya waktu itu, akupun merasakan demikian hal itu terjadi padaku,
mungkin Tuhan memberikan kesempatan yang kedua, sungguh beruntungnya aku, kini
aku menantikan datangnya kuasamu Tuhan, hanya engkaulah yang bisa membangkitkan
dari ketidakpastian ini, aku tidak bisa bergerak, tubuhku kaku, aku tidak bisa
menggerakkannya, tapi seolah pikiran dan hatiku bisa melakukan apa yang ingin
aku lakukan, bergerak bebas kemana saja yang aku mau, mencita-citakan segala
yang aku impikan, seakan rasa itu mati, aneh, mimpi apa aku? aku tidak terbiasa
dengan hal seperti ini, dimana ini? aku pun tidak tahu, yang aku rasakan
hanyalah kebebasan yang tidak terbatas, tidak ada rasa sedih, tidak ada rasa
senang, semuanya seperti hampa dan kosong, tapi aku sangat menikmati kebebasan
itu, dan pada akhirnya.
“Ah....
“ aku kaget, tetesan air hujan mengenai
kedua mataku hingga menyentuh kedua bola mata, agak perih, tapi seakan syarafku
berfungsi kembali, tidak hanya itu, jari kedua tanganku ikut bergerak meskipun
perlahan, aku rasakan hawa sejuk yang berbeda dari sebelumnya, aku mendengar,
aku bernafas, terasa udara masuk ke dalam jantungku memompa darah ke seluruh
tubuh hingga aku terbangun, perlahan kubuka mata, pemandangan yang berbeda dari
sebelumnya.
“Dimana
aku?” aku bertanya dalam hati,
kugerakkan kedua mataku ke kiri dan ke kanan, aku lihat sekeliling tempat itu,
“sawah?” pikirku, itu yang pertama kali
aku lihat, dan posisiku masih tetap sama tidak ada yang bergeser sedikitpun,
aku mencoba untuk berpikir mengingat kembali peristiwa yang sudah berlalu.
“Apa
yang aku lakukan di sini? Aku seperti mimpi?” kataku, dan akhirnya aku ingat,
aku segera sadar.
“Oh...
Tuhan inikah kuasamu hingga aku bisa kembali”, tidak banyak yang bisa aku pikirkan,
aku segera bangkit, agak sempoyongan, aku angkat badanku dengan kedua tangan memang
agak sedikit lemah fisik ragaku, tapi aku berusaha untuk berdiri walaupun tidak
sempurna seperti yang lalu.
Aku
berhasil menegakkan tubuhku tapi masih bersimpuh pada kedua lutut kaki yang aku
lipat, aku lihat seluruh badanku, kotor sekali, bajuku yang terlihat bagus saat
itu kini tidak terlihat lagi bentuk barunya bahkan lebih jelek dari baju
pengemis seperti apa yang aku lihat.
“Apakah
ini jalanmu Tuhan, aku tidak mengerti apa maksudmu?” kataku.
Air
hujan masih mengguyur seluruh tubuhku, tapi...
“Aku
ingat,” aku kegirangan, disamping juga heran, segala kepedihanku hilang,
sepertinya semua masalah yang aku hadapi terhapus dari dalam pikiranku, aku
penasaran, ada apa ini? ada beberapa hal
yang membuatku bertanya-tanya, aku terbuai memandang lurus ke depan, melihat jauh
tidak tentu arahnya, kupasrahkan semua jiwa ragaku padamu Tuhan, dan seakan
diriku telah menyatu dengan sang Ilahi, aku merasakan hal itu, entah sadar atau
tidak, aneh, hati dan pikiranku tiba-tiba saja berkecamuk, mulutku yang telah
lama membisu ingin segera mengeluarkan kata-kata.
“Tuhan...
jawablah pertanyaanku” kataku dengan keras sambil berharap, selama beberapa
menit aku menunggu tiak ada tanda-tanda apapun, sesaat keyakinanku runtuh,
diriku yang lalu bersemangat kini berubah tertunduk lesu, kuhela nafasku hingga
aku tahu jika apa yang aku lakukan hanyalah pepesan kosong belaka.
“Tidak
mungkin semudah itu”
Tapi
kejadian yang tidak terduga telah terjadi, entah aku sedang bermimpi ataukah
aku terlalu mengkhayal dengan harapan-harapanku itu, hujan yang sebelumnya
sangat deras kini mereda, dan aku melihatnya, mataku bergerak liar tidak tentu
kemanapun arah tujuannya, hatiku seperti tersengat.
“Ya
Tuhan inikah jawabanmu padaku,” aku bicara lirih lalu aku lanjutkan untuk kedua
kalinya tapi kali ini lebih keras.
“Tunjukkan
kuasamu Tuhan, berikanlah aku petunjukmu, aku tahu engkau adalah Maha Segalanya,”
kepalaku menengadah dengan kedua tanganku mengharapkan hidayah darinya (Tuhan).
Inilah
tanda-tanda kekuasaan Tuhan, entah disadari atau tidak,
setiap
peristiwa alam yang terjadi selalu memberikan makna tersendiri bagi setiap umat
manusia, tergantung pada kita bisa menyikapinya atau tidak
Aku
merasakan hawa dalam tubuhku yang tidak kedinginan seperti sedia kala, seperti
disuntikkan semangat baru, kulihat kedua telapak tanganku memerah, aku berpikir
lagi, kuhilangkan untuk sesaat rasa penasaran itu, tapi aku mencoba mencari
jawabannya, lalu kugerak-gerakkan jari-jemariku terus kubolak-balikkan telapak
tanganku, ada hawa panas, ternyata darah dalam diriku sudah mengalir secara
teratur kemudian aku mencoba untuk untuk berdiri sekuat tenaga, tangan kiriku
menapak di tanah tubuhku agak condong ke kiri, kugerakkan kaki kanan yang
sebelumnya aku lipat kucoba untuk menapakkan alas kakiku untuk pertamakalinya
di tanah, agak sedikit kaku dan susah digerakkan tapi aku terus mencobanya, aku
jaga keseimbangan tubuhku agar tidak terjatuh, disaat yang bersamaan kugerakkan
kaki kiriku, agak sedikit melonjak, dan akhirnya
“Bisa....
“ kedua kakiku berhasil menapak sempurna,
tubuhku serasa masih membungkuk untuk memastikan kekuatan pada kedua kakiku dan
secara perlahan kucoba menegakkan tubuh bagian pinggang ke atas, rasanya luar
biasa, sepertinya senyawa-senyawa dalam tubuhku kembali menyatu, otot-ototku
mulai menari-nari dengan indah lalu aku mencoba untuk berjalan pelan tidak
terburu-buru, setelah beberapa langkah ke depan kulihat genangan air di tempat
itu, aku mendekatinya, aku kaget.
“Hah...
inikah wajahku” pantulan cahaya membuat wajah dan seluruh tubuhku terpampang di
dalam air, dengan rasa penasaranku aku mencoba untuk meraba-raba seluruh wajahku,
kilihat dan kurasakan, angin yang berhembus membuat air dalam genangan itu
bergerak, sehingga membuat pandanganku tidak jelas tapi aku terus mengamatinya.
“Wajahku
yang sekarang berbeda dengan yang dulu, apakah sosok sederhana seperti ini yang
berusaha engkau (Tuhan) gambarkan untukku,” kataku dalam hati, aku terus
berpikir seraya menatap diriku dalam genangan air itu, dan tiba-tiba saja aku
tersentak, terpintas dalam pikiranku.
“Oh
Tuhan aku mengerti mengapa engkau mengidam-idamkan sosok yang sederhana dalam
diriku” kata batinku, setelah itu aku melamun antara sadar dan tidak, kutatap
hamparan sawah yang masih tergenang oleh air hujan, tapi tidak disitu tujuanku,
entah aku pun juga tidak tahu, tapi seolah-olah aku memikirkannya.
“Wussstt.....
“ angin semilir membisik di kedua telingaku, sontak aku risih, dan lagi-lagi mataku
bergerak melihat sekeliling tempat aku berdiri, pohon-pohon dan dedaunan
bergoyang, bergerak seirama mengikuti alur angin, diikuti kemudian awan hitam
yang sesaat sebelumnya mengumpul di langit seolah bergerak menjauh meninggalkan
tempat itu seperti memberi arti kalau segala masa suram yang telah menimpaku
sedikit demi sedikit mulai menghilang, disaat awan hitam itu bergerak menjauh
kini pancaran cahaya putih merasuk di antara celah-celah awan itu.
“Indah
sekali”, ribuan semut-semut kecil dan beberapa jenis serangga menampakkan
dirinya, berjalan, terbang, dan menari-nari kegirangan.
“Inilah
kuasamu Tuhan, aku sangat kagum dengan segala isi alam semesta ini”, aku pun
takjub, tidak henti-hentinya mataku melihat pemandangan itu, sungguh pesona
alam yang sangat luar biasa, aku berpikir untuk melangkahkan kakiku, kugerakkan
lebih dulu kaki kiri, melangkah dengan mantap, aku tidak merasakan hal ini
sebelumnya, kedua kakiku seolah menuntun arah gerak yang akan aku lewati,
kuturuni bukit-bukit kecil yang ada di sawah itu, agak becek jadi aku harus
berhati-hati karena salah melangkah sedikit saja aku bisa terjatuh, kedua
tanganku senantiasa menjaga keseimbangan agar kedua kakiku bisa bergerak dengan
bebas mengikuti arah jalan yang kini aku lewati, dan sekarang aku berada di
tengah-tengah persawahan yang sangat luas, membentang hijau padi-padi kecil
tumbuh yang kembali membuatku penasaran, aku berhenti sebentar, kupandangi padi
kecil itu, aku berpikir dan berusaha untuk memaknainya.
“Padi
ini tumbuh tidak percuma begitu saja, setiap hari dia dihantam dengan kerasnya
berbagai peristiwa alam, ada hujan, angin, kekeringan, bahkan banjir sekalipun
dan dia (padi) tetap berusaha untuk hidup, tumbuh, dan berkembang hingga
memberikan manfaat bagi orang lain”
Aku
bergerak melangkah lagi, kubiarkan pandanganku untuk lepas dari padi itu, aku
menyusuri jalan kecil di tengah persawahan, susah sekali sepertinya padahal aku
terbiasa jalan ditempat yang sangat sempit sekalipun, tapi di sini aku harus
berjalan dengan penuh kehati-hatian, dan lagi-lagi belum beberapa langkah aku
berjalan, aku dibuat penasaran dengan padi yang sudah tumbuh matang, berbeda
sekali dengan yang pertama aku lihat, padi ini terlihat sudah berisi, aku
berhenti tepat di depannya seraya berpikir.
“Hei...
padi ini kenapa menunduk, tidak tumbuh menjulang ke atas seperti yang aku lihat
pertama kali”, dan lagi-lagi aku berusaha untuk memaknainya, pikiranku
melayang-layang mencari jalan keluar dari sebuah masalah yang sedang aku hadapi
saat itu hanya untuk memecahkan makna kecil tapi sangat bermanfaat sekali bagi
hidupku, dan setelah aku menggali dan terus menggali, kudapat jawaban makna
hidup dari sebuah padi itu.
“Padi
ini jika sudah berisi pasti akan menunduk, layaknya juga manusia, ini
mengajarkan agar aku harus selalu bersikap rendah hati”, aku tidak berpikir
lama-lama, sepertinya diriku sudah ada yang menggerakkan, pikiranku mengatakan
kalau sesungguhnya tujuan dan arahku tidak tahu harus kemana, aku terus
melangkah mengikuti arah jalan yang berada tepat di depanku, kuikuti saja gerak
kakiku, dan tiba-tiba.
“Wusstt......
“ angin bertiup kencang menerpa tubuhku dari arah belakang.
Dan
aku pun hampir terjatuh dibuatnya, tapi sontak kedua kakiku bisa menahan gerak
tubuhku yang saat itu sudah agak condong ke depan
Angin
itu terus bergerak kencang hingga mendorong tubuhku ke depan dan sekuat tenaga
aku berusaha untuk menahannya, kedua kakiku kuusahakan agar bisa menahan posisi
tubuhku agar bisa berdiri, mataku melirik, dan kulihat daun-daun kering
beterbangan, pohon dan tumbuh-tumbuhan bergerak cepat mengikuti arah angin, aku
berjalan cukup jauh karena dorongan angin itu, hingga aku tidak tahu dimana
posisiku sekarang karena memang pikiranku hanya fokus pada gerak tubuh yang
terpontang-panting diterpa angin ganas yang menyebalkan ini.
“Ah.....”
suara keras keluar dari mulutku, aku dihantam angin dan tiba-tiba aku berada di
tempat yang belum pernah aku kenal, belum pernah aku lihat sebelumnya, tempat
itu berantakkan, daun-daun kering berserakan dimana-mana, dan yang paling aneh
ada beberapa bunga mawar merah dan putih jatuh di beberapa tempat.
“Tempat
apa ini?” aku tertarik untuk melihat
lebih dekat, kuambil satu-persatu bunga itu, pertama kali kupandang tidak
terlihat indah, tidak menunjukkan keromantisannya sebagai bunga cinta yang
sering kaum muda dengung-dengungkan, tidak menarik memang karena bunga itu
kotor tercampur debu tanah, aku mengambil beberapa bunga itu lalu aku tiup
perlahan, debu itu beterbangan seakan mengembalikan nuansa romantisme yang
dimiliki bunga itu, aku tersenyum melihatnya seperti merasa puas, sampai
kulakukan beberapa kali kemudian bunga-bunga itu kujadikan satu hingga
membentuk sebuah karangan bunga yang sangat indah, berbeda sekali dengan yang
kulihat sebelumnya, sesaat aku berpikir sesuatu yang tidak berarti apapun kini
berubah menjadi berarti, aku kembali menemukan makna hidup, setiap peristiwa
yang kualami selalu aku ambil hikmahnya, dan dari situlah aku mulai belajar
untuk menata hidupku, karangan bunga itulah yang menjadi makna terakhir bagiku,
kini aku menjalani kehidupanku yang baru, suatu perjalanan hidup yang sangat
bermakna, dan pada akhirnya setelah melewati masa-masa remajaku, aku mulai
membuka sebuah toko bunga di samping rumah dengan bunga rampai sebagai salah
satu favorit anak muda saat itu, laris manis, hingga aku mempunyai beberapa
toko cabang di kota-kota besar di Indonesia, tidak hanya itu aku menikah dengan
seorang perempuan bernama Santi dan dikaruniai seorang anak bernama Rosa,
sekarang aku hidup dengan penuh kebahagiaan, ada sahabat, ada saudara, dan
semua sangat menyayangiku, aku merasa sangat bahagia berada di samping mereka.
Dan
pada malam harinya, disaat itu aku berdiri di atap teras rumah menatap gemerlap
bintang di langit yang sangat mempesona, aku berkata.
“Oh
Tuhan aku sangat bersyukur tanpamu aku tidak bisa menjadi seperti sekarang ini,”
disaat yang tidak terduga-duga tiba-tiba.
“Ting...
Tong... “ terdengar bunyi bel, aku
mendengarnya sontak aku langsung turun dari atap teras, beberapa anak tangga
aku lewati hingga sampai di depan pintu terus aku buka, aku melihat petugas pos
membawa sebuah karangan bunga entah dari mana.
“Pak
Wahyu,” kata petugas pos itu.
“Benar,”
jawabku.
“Ada
kiriman dari Rosa.”
“Rosa!”
aku terkejut, dan tidak lama kemudian datanglah istriku.
“Siapa
yang mengirim bunga ini Pah?” kata istriku.
“Ini
dari Rosa Mah” jawabanku tidak melihat saat istriku datang, (Rosa adalah putri
satu-satunya Pak Wahyu, dan sekarang dia sedang kuliah di Inggris).
Tertulis
dalam karangan bunga itu sebuah kata “NOSEGAY”, dan di dalamnya ada sebuah
surat, aku membukanya, melihat isi surat bersama dengan istriku, tertulis.
“Selamat Hari Valentine Papa dan Mamaku
tercinta, semoga engkau selalu diberikan kesehatan, kasihku untukmu selamanya”
Salam
Rosa.
(Tepat pada hari itu tanggal 14
Februari)
Aku
pun merasakan kebahagiaan yang tiada kiranya, hatiku tersentak hingga air mata
menetes membasahi surat yang masih aku pegang pada saat itu, bersamaan Istriku
memelukku dengan penuh kasih sayang, sungguh bahagianya aku, mungkin inilah
jawaban makna hidup bagi diriku yang sekarang aku peroleh.
“Oh
Tuhan terimakasih atas segala petunjukmu”
-END-
Kontributor : Hening Nugroho, Penulis Novel NOMAD
Rahasia Tuhan
Reviewed by elisa
on
Thursday, May 18, 2017
Rating:
Memang semua peristiwa akan membawa makna.
ReplyDeletesetujuuuuuu
Delete