Lelaki yang Mengukir Aksara di Pundak Bangsa
Sulitnya mengenyam
pendidikan hampir dirasakan semua anak-anak Inlander (pribumi). Hanya
orang-orang Inlander yang memiliki kedudukan dan jabatan tinggi dengan
pemerintahan Belanda saja yang bisa merasakan bagaimana rasanya belajar di
bangku sekolah. Hal Ini dirasakan oleh Masyhudul Haq, atau yang sekarang lebih dikenal dengan nama Haji Agus Salim.
Tahun 1880-an menjadi pegawai Governmen Hindia-Belanda,
sehingga ia merasa menjadi peribadi yang terpandang dikalangan kaum inlander.
Itulah yang dirasakan Haji Agus Salim. Berkat ayahnya bekerja di bawah naungan
Hindia-Belanda mampu belajar bersama anak-anak Belanda di bangku formal. Tidak
hanya sekedar mengulas dunia pendidikan ketika masa pemerintahan Belanda, buku
karangan Haidar Musyafa berjudul Cahaya dari Koto Gadang ini ingin memberikan
pesan pada generasi bangsa ini bahwa, mencari ilmu adalah hal yang sangat
penting.
Buku terbitan Spirit & Grow ini juga menceritakan
tentang persahabatan Haji Agus Salim dengan Zainal. Zainal adalah teman sepermainan
Haji Agus Salim ketika masih kecil, Zainal merupakan sosok orang sederhana,
cerdas dan pandai. Sayang, Zainal tidak memiliki kesempatan belajar seperti
Haji Agus Salim yang bisa mengenyam pendidikan. Meskipun demikian, mereka tetap
berkawan baik dan saling menguatkan.
Judul : Cahaya dari Koto Gadang
Penulis : Haidar Musyafa
Penerbit : Sprit & Grow
Cetakan : April 2015
Halaman : xiv + 466 hlm
ISBN : 978-602-72438-0-4
Buku yang memiliki ketebalan xiv + 466 halaman ini mengajarkan pada kita pentingnya menjalani
proses. Di mana perjalanan Haji Agus Salim dari kecil hingga dewasa,
bersemangat belajar mengantarkannya menjadi seorang diplomat pertama Republik
Indonesia, setelah sebelumnya menjadi konsulat di Jeddah, Arab Saudi. Saat
menjalani tugasnya sebagai Konsulat di Jeddah itulah Haji Agus Salim
berkesempatan belajar agama Islam lebih mendetail dengan Syaikh Ahmad Khatib
Al-Minangkabay. Di Arab Saudi pula, tujuan Haji Agus Salim di uji, dengan
menikahi seorang perempuan Arab bernama Ummudzat Saferiyah, meskipun sebenarnya
Ia mencintai kekasihnya, Zainatun Nahar yang ada di Koto Gadang.
Kisah romantisme sengaja ditampilkan dalam buku ini.
Karena itu bagian dari serangkain kisah hidup Haji Agus Salim yang sebenarnya.
Sosok pemikiran dan pengaruhnya masih terasa hingga kini. Lalu bagaimana
perjuangan Haji Agus Salim dalam menuntut Ilmu, dan bagaimana Haji Agus Salim
menyikapi romansa kehidupan dan perjuangannya sebakda dari Jeddah, Arab Saudi?
Meski disajikan dalam bentuk novel, tapi buku ini secara
jelas menggambarkan kisah perjalanan dan perjuangan Haji Agus Salim. Secara
tidak langsung, buku ini juga mengambarkan bahwa, orang Belanda masa itu juga memberikan
kesempatan belajar kepada anak Inlander
yang bekerja untuk Belanda, untuk kepentingan dan kemajuan Belanda. Dari
beberapa pribumi yang berpendidikan inilah yang melahirkan pemikiran-pemikiran
baru dan membuat Belanda kalah, Indonesia menang dari kesengsaran 350 tahun
lamanya. Dalam waktu dekat, buku ini wacanannya akan adopsi menjadi film.
Kekurangan buku ini lebih pada penyajiannya yang—menurut saya—terkesan datar
sehingga pembaca mudah jenuh, disamping juga karena buku ini tergolong novel sejarah
yang masih terasa berat di sebagian besar kalangan generasi muda. (Elisa)
Lelaki yang Mengukir Aksara di Pundak Bangsa
Reviewed by elisa
on
Thursday, February 16, 2017
Rating:
No comments: