Peristiwa 4 November 2016 : Kemanakah Aku Harus Berteriak?
Hari ini, hari Jum’at, 4
November 2016. Ku tulis catatan ini sebagai dokumentasi. Sebelum saya menulis
pada intinya, tulisan ini hanya tulisan subjektif dari sisi saya. Jadi, jangan
ada yang tersinggung, terhina, dan sejenisnya. Karena tulisan ini tidak saya
tujukan kepada siapapun.
H-2 sebelum tanggal 4
November 2016, lini masa FB saya sudah mulai dipenuhi dengan aksi demo masa di
Jakarta. Saya tidak tahu apa yang terjadi di senayan sana sebenarnya.
Berdasarkan status yang bersliweran, karena penistaan surat Al Maidah yang
disampaikan oleh Ahok.
foto : http://bit.ly/2e8IABe |
Semua orang tidak mau ketinggalan
update status. Berbagai sudut pandang mulai bermunculan di lini masa. Mulai
dari pendapat dari pihak pendukung demo, ataupun yang tidak setuju tentang
demo. Saya, sebagai orang yang CENDERUNG netral belajar mencoba memahami alasan
dan menghormati keputusan mereka.
Pada dasarnya, setiap orang
memiliki alasan dan dasar yang berbeda. setiap orang memiliki persepsi dan
keyakinan yang berbeda. Muncul rasa kasihan dan keprihatinan. Sebuah rasa yang
sulit saya sampaikan, karena yang saya pikirkan banyak sekali. Aku ingin berteriak.
Ah, saya memang baper, saya juga over thinking.
Banyak reaksi di lini masa.
Mulai makian kepada Presiden, sampai entah kemana-mana komentarnya. Sedangkan
saya, yang berdiri di layar komputer mencoba mengerti harapan, keingingan dan
sudutpandang mereka. Sisi lain, saya juga mengerti pemikiran dan alasan mereka
yang tidak mendukung demo.
Rasa terhina, perasaan marah
memang luka yang sulit untuk dihapuskan. Namun, apa yang kita peroleh mengikuti
rasa kemarahan kita? Sekeras apapun kita berteriak, akan sama saja. Saya
merasakan betapa beban dan sakit akibat sayatan luka. Bagaimaan kemarahan
memuncak. Hingga pada satu titik saya menyadari, semarah dan seberulah apapun
saya mengoarkan keadilan, jika belum takdirnya, tidak akan ngefek juga, dan
justru membuang-buang waktu. Ah, lagi-lagi saya baper.
Saya seperti berdiri
ditengah kerumunan. Ditengah lapangan yang maha dasyat, berisikan manusia. Kanan
kiri saling berperang, saling sikut, saling lirik untuk menjatuhkan. Dan, aku
berdiri melihat saja. Aku berteriak memberitahu, tiada yang mendengar suaraku. Melihat
silat lidah, silat status, dan hatiku sakit. Sampai tak sadar, air mataku
mengenang di pelupuk, enggan menetes. Menggelengkan kepala heran. Inikah akhir
jaman? Lantas, aku termasuk dimana? Lantas, apa yang mereka perjuangkan?
Aku buta politik, aku buta
agama, aku juga bodoh, tapi aku masih memiliki hati nurani, memiliki ideology. Begitu
banyak kepala yang memiliki visi, tujuan yang berbeda. dan, tak terasa aku
terbawa hiruk pikuk. Aku ingin keluar dari perang ini, namun sulit rasanya
keluar. Ketika saya berada di tepian, bukankah kita terlalu banyak membuang
waktu?
Apapun itu, mungkin memang
beginilah dinamika kehidupan. Sebagai pewarna dan sebagai pelengkap. Dibalik itu
semua, Biar Tuhan yang maha tahu. Bagaimanapun juga, Tuhan juga memang sedah
membuat scenario seperti ini. Toh, apapun yang terjadi, semua atas ijinNya. Dan,
aku hanya orang yang tak tahu menahu, hanya mencoba untuk fokus pada diriku.
Aku belum pantas mengikuti aksi tersebut, karena untuk memajukan bangsa ada
banyak cara.
Muslim bertengkar. Meskipun begitu,
dalam persaudaraan pertengkaran hal yang wajar. Dalam satu keluarga, tidak
selalu sepemikiran, itu hal yang wajar. Dan inilah rupa kita, umat muslim.
Semoga kita sesama muslim bisa rendah hati menerima, menghargai dan berjalan
bersama. Menyelesaikan dengan cara lain, semoga hati kita yang marah termaafkan.
Saya lelah, semoga rasa lelah ini membawa kita untuk rebah, dan bertanya pada
diri sendiri. Dan menemukan esensi dari semua peristiwa ini.
Peristiwa 4 November 2016 : Kemanakah Aku Harus Berteriak?
Reviewed by elisa
on
Friday, November 04, 2016
Rating:
No comments: