Mempertahankan Seni Tradisional Indonesia Dari Kepunahan
Foto ; Elisa |
Yogyakarta dijuluki
sebagai kota seni dan budaya. Sebagai kota seni, Yogyakarta memang selalu
terdepan. Salah satunya seni dalam bermusik. Setiap titik jalan akan menemukan
pengamen yang memainkan alat musik tradisional. Setidaknya, di Yogyakarta itu
sendiri ada sepuluh titik, Dari XT Square, Tamansari, SGM, Permata, Jakal,
Jogteng Kulon, Demangan dan perempatan
Ngabean.
Salah satunya tim pengamen jalanan yang Tim BIAS datangi di Ngabean. Kali
itu bertemu pak Yanto. Angklung Pegasus, itulah nama tim mereka. Setiap pagi
jam 08.00 WIB Sudah mangkal di perempatan Ngabean hingga pukul 17.00 WIB.
Mangkalnya tidak sembarang mangkal menengadahkan tangan, tapi mereka menjual
yang namannya seni dan kreativitas.
Berjam-jam mereka berdiri, menabuh gendang, mengesekan angklung dan
memukul alat music tradisional lain yang terbuat dari bambu buatan inovatif
mereka. Tanpa latihan serius sebelumnya, Angklung Pegasus tetap mampu
menciptakan sebuah nada yang harmonis. “Jadi kita tidak pernah latihan mbak.
Pinter-pinternya kita saja,” tegas pak Yanto disela pertunjukan.
“Matahari terik, pikiran
lelah karena urusan kantor atau banyak tugas yang menumpuk di kepala saat di
kampus itu hal wajar. Setidaknya, disetiap perempatan, otak, mata dan telinga
disegarkan oleh pertunjukan para pengamen jalanan yang sangat menghibur dengan
penampilan mereka,” itulah pendapat Hafidz, salah satu penguna jalan.
Tahukah kamu, dibawah pohon yang tidak terlalu besar dan tidak terlalu
rindang, Pak Yanto bercerita banyak hal, salah satunya awal terbentuknya
Angklung Pegasus yang mulai berdiri sekitar 2012 yang lalu. Jadi, awal
munculnya pengamen jalanan ini dulunya hanya satu, yang sering mangkal di
Malioboro. Perlahan, diikuti pengamen jalanan lain di belakangnya. Hingga
sampai saat ini, ada sekitar 10 pengamen jalanan. “Setiap pengamen memiliki
nama atau grup sendiri-sendiri mbak.”
Pihak pemerintah, khususnya Dinas Pariwisata Yogyakarta mendukung penuh
dan memberikan tempat bagi para pengamen jalanan. Dukungan pemerintah bukan
tanpa alasan, salah satu alasannya seperti yang diceritakan pak Yanto, bahwa
ngamen ini bentuk dan upaya untuk melestarikan budaya, seni tradisional
Indonesia. Misalnya angklung, sekaligus mengangkan icon Yogyakarta. “Jangan
lagi terjadi seperti kasus Malaysia yang mengeklaim milik kita,” tambahnya
prihatin.
Yanto dan teman-temannya menciptakan alat musik sendiri. Berawal dari
coba-coba, kerja keras mereka berhasil. Dari delapan alat music yang ada, yang
dibeli hanya angklung dan kentongan. Berbicara soal alat musik tradisional yang
mereka gunakan, ternyata permainan ini diadopsi dari musik asli dari Banyumas,
yaitu tektek. Dalam upaya kolaborasi atau campuran, hasilnya seperti yang
ditemui di beberapa perempatan jalan.
Bukan hidup namannya jika tidak pernah merasakan susah menjadi pengamen.
Berdasarkan cerita pak Yanto, dulu pertamakali tampil, saat belum mendapatkan
dukungan dari pihak pemerintah, selalu digusuh oleh pihak kepolisian. Sehingga,
mereka memilih untuk ngamen dari pasar ke pasar yang se-Yogyakarta, meliputi,
Bantul, Sleman dan Kulonprogo. Saat musim hujan turun, Angklung Pegasus juga
terpaksa berhenti menghibur dengan musiknya. “Karena alat musik kita dari
bambu, kita selalu berteduh terlebih dahulu. Apabila alat kita kena air, maka
akan mempengaruhi suara yang akan dihasilkan menjadi jelek. Apalagi kalo tidak
ada tempat untuk berteduh, di dekat mangkal kita,” ceritannya panjang lebar. (Elisa &Adhisti)
Diterbitkan Tabloid BIAS edisi 1/2015
Mempertahankan Seni Tradisional Indonesia Dari Kepunahan
Reviewed by elisa
on
Tuesday, October 13, 2015
Rating:
No comments: