Diam Itu Emas, Benarkah?
Diam itu emas,
itulah ungkapan yang banyak orang gunakan. Tapi, pernahkah berfikir seberapa
dalam luka yang ditimbulkan dengan cara diam? Pernahkah berfikir dari sudut
pandang yang lain, berapa keras seseorang itu bertahan agar tetap ceria, meski
sulit menghilangkan luka yang tertanam karena sikap diam kita?
Bagi
orang-orang Nasrani atau orang katolik, ada istilah “pengakuan dosa”. Seorang pastur
yang ada di dalam sebuah ruangan yang tidak bisa dilihat wajahnya seperti apa
dan bagaiman, kemudian kita mengungkapkan unek-unek yang kita rasakan. Sang
pastur di balik ruangan sebagai pendengar setia. Untungnya, antara sang pastur
dan pengaku dosa ada komunikasi dua arah. Coba bayangkan bagaimana seandainya
tidak ada komunikasi dua arah, melainkan komunikasi secara sepihak?
Komunikasi
dalam hal dan hubungan apapun memang penting. Apapun itu bentuk komunikasi
secara sepihak, pasti ada sebab akibatnya kenapa terjadi demikian. Namun,
pernahkah kita melihat dari sudut pandang lain? Berkomunikasi secara sepihak,
dengan cara diam dan tetap terus melakukan komunikasi kira-kira banyak manfaat
yang mana?
Oke, saya akan
mengupas dari sudut pandang lain dari komunikasi sepihak ini. Anggap saja kita
sedang berada di zona ini. Saat kita membenci seseorang, apa yang kita lakukan?
Kita pasti akan diam saja, tidak merespons. Seberapa sering orang tersebut
menganggu, kita akan tetap diam. Tanpa memberikan konfirmasi atau memberikan
sebuah pesan yang mempertegas. Pokoknya, orang itu syaraf sampai-sampai
menganggu kita sedemikian rupa.
Di lain kesempatan,
kita memiliki pemikiran akan menghubunginya orang tersebut dilain hari, disuasana hati kita yang lebih baik. Pernahkah kita berfikir sebelumnya, selama
kita diam dan mengabaikan si penganggu itu, ia juga merasakan bagaimana
perilaku kita kita selama ini yang mengabaikannya. Semakin lama kita
mengabaikan, semakin menumpuk sebenarnya rasa sakit yang dia rasakan. Lalu,
masih pantaskah kita menghubungi dan mempermainkannya?
Padahal, jika
kita yang diperlakukan sama halnya yang kita lakukan padanya, kita belum tentu
sanggup dan kuat. Kita belum tentu mampu menanggungnya. Tidakkah pernah
berfikir, bagaimana perasaannya ketika dia hanya ingin diperhatikan, namun
tidak kita perhatikan sama sekali dan kita abaikan. Saat itu, apa yang dia
pikirkan yang tidak-tidak, karena merasa serba salah dengan sikap kita. Bisa
jadi, dia menyalahkan dirinya sendiri dan menyiksa dirinya sendiri atas
perilakunya.
Lalu, dengan
mudah kita menghubunginya sesuka hati kita. Disaat itulah, sebenarnya orang
yang paling jahat dan sadis. Sebuah penganiayaan secara spikis dan mental.
Melahirkan cacat hati dan duka yang sulit untuk disembuhkan. Masihkan kita
berlaku seenaknya terhadap orang lain? Dan ketika kita memulai komunikasi, namun
masih di sambutnya, bersyukurlah kita. Bersyukur, setidaknya kita masih diajak
komunikasi. Tidak dianggap mati, dan tidak pula dianggap sampah. Dan, perlu
diketahui, orang yang pernah kita buang, saat kita ajak berkomunikasi dan masih
merespons, tidakkah kita berfikiran, betapa kejam dan tidak memiliki empati
sedikitpun terhadapnya. Bisa saja, saat diajak komunikasi, ia masih terluka dan
belum sembuh betul. Namun ia hanya pura-pura tersenyum, dan pura-pura lupa atas
keangkuhan keegoan kita.
Diam memang
emas. Tapi tahukah Anda? Diam juga mampu menjatuhkan, merendahkan dan menghina
orang lain.
Diam Itu Emas, Benarkah?
Reviewed by elisa
on
Wednesday, July 01, 2015
Rating:
No comments: