Mengejar Kesejatian Bahagia (Minggatnya Cebolang)
Foto : Elisa |
Si Bolang minggat dari rumah (Sokayasa). Ia melalangbuana disepanjang
pulau Jawa. Ia minggat karena kenakalannya. Banyak hal kenakalan Cebolang yang
tidak pantas di ampuni Allah (berzina, homoseks dll). Dalam pengembaraannya,
Cebolang dan keempat temannya memutuskan pergi ke bukit Meru, bertemu sang
petapa bernama Danadarma atau Sang Khadir. Cebolang tidak akan pulang ke
Sokayasa apabila Danadarma tidak menampakan diri. Ia ke gunung Meru dalam
rangka bertanya, apakah Allah akan mengampuni perilakunya. Ia bersumpah, rela
mati di Meru jika Sang Danadarma tidak menampakan diri.
Suatu malam, keempat temannya tertidur pulas di atas bukit Meru. Cebolang
melihat sosok Danadarna yang selama ini ia dengar. Cebolang sujud hormat. Di
situlah, Cebolang di ajak masuk ke sebuah Gua tak tampak. Di dalam gua, Sang
Danadarna menceritakan tentang kisah Bima yang mencari Kebahagiaan, Air suci
abadi. Berikut ceritannya, yang penuh filosofi yang haus mencari dan bertanya
“Siapa diri kita?”.
Bima menyelam ke dasar samudra tanpa tahu kemana ia harus mencari Air
Suci di zat tanpa cakrawala tanpa cahaya ini. Seketika ia melihat makhluk mirip
dirinya tapi hanya sebesar jempolnya. Inilah Dewa Ruci yang benar-benar kaya
Bima sejari.
Dewa katik itu menegur Bima : “Hai! Bima, apa yang telah membawamu
kemari? Tak ada yang bisa kau inginkan di sini, tiada sandang, tiada pula
pangan. Hanya mara bahaya dan sunyi. Kenapa kau berkeras kepala, tak sayangkah
kau pada hidupmu? Aku tahu silsilah leluhurmu dan perintah Drona yang kau
terima untuk mencari Air-Suci. Tapi jangan kamu pergi kalau belum tahu negeri
tujuanmu, jangan makan selama belum tahu rasa hidangan yang disuguhkan, jangan
sujud selama belum tahu siapa yang disembah. Kini segala telah terlanggar,
masuklah buru-buru ke tubuhku!”
Demi mendengar titah itu, terperajat Bima lalu tergelak-gelak tertawa:
“Mana mungkin! Paduka katik, sedangkan hamba lebih besar kuat daripada gunung!
Lewat manakah hamba harus menyusup ke tubuh Paduka, bahkan kelingking hamba pun
sesak?”
Dewa sukma Suci menyahut lembut: “Bima, Bima, apa kamu lebih besar dari
jagad yang zatnya pun takkan merasa sesak bila masuk ke tubuhku? Ayo, lewatlah
lubang telinga kiriku dan di dalamnya kau akan mendapatkan kebahagiaan yang kau
cari, yaitu Air Suci, alam raya seutuhnya.”
Tanpa lagi ragu, Bima masuk telinga kiri tubuh mungil Dewa Ruci. Di
dalamnya, ia melihat samudra tiada dasar, tiada tepi, semua sisi tertutup awan.
Dewa Ruci memangilnya;
“Hai! Apa yang kau lihat?”
”Tidak ada yang tampak, kecuali hampa mengangga, ke mana pun hamba
berpaling, tak ada mana barat, timur, utara, selatan, tengah, bawah, atas,
belakang, depan, puncak maupun dasarnya, tak ada apa-apa dan sekalian semua
ada, sungguh hamba kehilangan arah.”
“Jangan khawatir!”
Seketika itu Bima melihat sinar memancar menyilaukan, ia berhadapan
dengan Dewa Ruci yang berada di pancamaya, lima kekuatan maya yang Terbalik.
Dewa Ruci Berkata “Yang kau lihat itu ini nyata. 5 kekuatan maya yang dipakai
Sang Penyihir Agung untuk mengungkapkan kesaktiannya pada Dunia fana. Bila kamu
merasa maya ini nyata, kamu akan sesat di dalamnya. Tapi bila di dalamnya kamu
bisa mengenali angka lima yang meruapkan angka alam semesta insan manusia yang
dipakai Sang penyihir Agung untuk menuliskan ilmu RahasiaNYA, lalu maya menjadi
pencerahan dan pancamaya akan menuntunmu ke aku sejatimu dan ilahimu. Sekarang
kelilingilah dan buka lebar-lebar matamu! Apa yang kau lihat?”
“Hamba melihat empat warna : Hitam, merah, kuning dan putih. Lainnya
sirna. Hamba hanya melihat empat warna. Itu apa?”
“empat warna itu namannya caturwarna. Itu adalah nafsu yang bersemayam di
dasar hatimu dan memenuhi zat dunia. Tiga dari warna-warna itu adalah musabab
segala dukamu dan merintangi pencapaian matimu dalam hidup; hitam adalah
amarah, warna merah adalah jahat, kuning kedengkian. Adapun putih itulah
asal-usul semua warna, tempat anugrah luhur dibagi untuk menuntun kemanunggalan
abadi. Hitam, merah dan kuning dibantu tentara yang raya, sedang putih tidak
memunyai sekutu pun, maka ia selalu kalah. Majulah lagi dan katakan apa yang
kau lihat.”
“Hamba lihat nyala tunggal memancarkan delapan warna, terpisah dan
tercampur sekaligus, dan di nyala tunggal ini menari golekan gading. Apakah itu
aku sejati yang hamba cari?”
“Bukan ini yang kaucari, sebabyang kau cari tidak ada di manapun jua dan
tidak memiliki tampilan selain dalam rupa sandi yang memenuhi semesta, tapi tak
dapat diraba. Nyala tunggal dengan delapan warna laksana tari golekan gading
ini namannya pramana, musabab kehidupanmu. Pramana menyatu tapi tidak berbaur
dengan raga. Ia tidak kena sedih maupun duka, ia tidak tidur maupun makan. Bila
ia undur diri dari raga, raga mati. Dan ketika raga mati, pramana sirna dan
pulang ke sukma, asal muasal semua hidup, Yang Esa.”
Pramana pada Yang Esa seperti lemak pada susu, alun pada air atau wayang pada
dalang. Kelir yang dipakai dalang untuk menampakkan wayang adalah dunia seperti
yang dilihat manusia. wayang bergerak berkat dalang tapi tanpa wayang,
kata-kata dalang sia-sia terbuang. Keduanya saling menundukkan dan tunduk satu
pada lainnya. kemanunggalangan mereka yang lahir dari permainan gelap dan
terang ini tiada rupa, rupa berada dalam dirimu bagaikan cermin. Yang mengaca
yaitu Sukma, Yang Esa, ada pun pantulan yang kau lihat di cermin, itu adalah
kamu.
Kesempurnaan rupamu tergantung kebersihan cerminmu, kamu yang harus
menggosoknya. Yang Esa tidak akan ditembus oleh ketidaksepurnaan cermin. Yang
Esa tidak dapat dikenali, maka ia menanamkan pramana RahasiaNYA dan mengutusnya
merupa dalam setiap manusia. Begitulah bumi sezatnya dan selebihnya tergambar
pada tubuhmu.
“Tapi bagaimana rupa Yang Esa?”
“Kamu tidak dapat mengamatinya, andai pun kamu segenap hati
menginginkannya. Sesungguhnya mudah mengenalinya tapi syaratnya berat”
“katakan, apa syaratnya”
“Kamu harus melepaskan penglihatan, pendengaran, semua indra serta
pikiranmu, sebab halangan bagi pencarianmu adalah keberadaanmu sendiri. jika
bijaksana kamu, jangan pakai indra matamu untuk melihat, biarkan ia jadi mata
hati, biarkan tubuhmu jadi semesta. Satukan pikiran dan tindakan, jangan
biarkan dirimu mendua. Bila kau telah mencapai kesatuan, semua kehendakmu akan
terwujud, semua hasratmu akan segera terkabul sebab sesungguhnyaah semua itu
telah terlaksana pada dirimu, dan alam semesta berkenan menyerahkan kemampuan
ini kepadamu.
Bila kau telah sampai di situ, jangan terbawa rasa untuk membicarakannya,
sebab ini ilmu yang paling berharga dan rahasia. Kamu tidak boleh
membicarakannya kepada siapapun, kecuali kepada mereka yang juga telah menerima
berkah sama. jika ada yang ingin berbantah mengenainya, jangan ditanggapi,
jangan marah, jangan sampai kamu rusak karena racun kehidupan. Sebaliknya,
taklukan racun itu.”
Mendengar kata-kata itu, hati Bima menjadi cerah bagaikan bulan
menyingsing dari balik kabut. Bahagianya sedemikian rupa sehingga tak mau
keluar dari raga katik Sang Dewa Ruci. Padahal ia tidak bisa terus di situ
tanpa mati.
Dewa ruci berkata lirih “Bima, Bima, aji-aji sia-sia sudah, semua telah
ada padamu, tak ada lagi yang bisa kau cari. Keperwiraan dan semua braja telah
kau tinggalkan. Pergilah.”
Dewa Ruci telah kembali ke alamNYa semula. Sebagai tanda telah memperoleh
ilmu luhur suci, Bima menyuntingkan mahkota bunga pundak dan kasturi jati di
telinganya serta mengenakan kain polang-poleng caturwarna hitam, merah, kuning, dan putih.
Mengejar Kesejatian Bahagia (Minggatnya Cebolang)
Reviewed by elisa
on
Sunday, March 15, 2015
Rating:
No comments: