Kekayaan, Keimanan Tidak Dapat Diwarisi
Pernah pada fase tertentu, marah dengan kemiskinan yang mendera keluarga. Di jaman era modern dan milenium, sering keluargaku tidak mampu
makan. Untung masih ada nasi yang bisa kami makan, laluk pun kami tidak ada.
Paceklik, orang bilang. Hal-hal semacam itu sudah hal yang biasa.
Saat kecil, aku tidak tahu menahu asal usulku. Sejak kecil, aku tidak
mengenal nenekku. Kedua nenek dari pihak Ibu sudah wafat ketika Lik-ku bayi,
dan tentu saja nyawaku masih di awang-awang. Nenek dari pihak Ayah, saya tidak
pernah mengenal sosoknya ada untukku. Ironisnya, Ayahku sejak kecil justru di
asuh oleh Neneknya, jadi, saya menyebutnya Buyut.
Buyut Lanang tidak pernah saya lihat sekilas seperti apa. Sedangkan Buyut
Wedok, saya hanya tahu lewat foto usang yang sempat terabadikan. Aku tidak tahu
banyak tentang Nenek dan Buyut-buyutku itu, dan aku juga tidak tertarik
mengetahuinya.
Aku di dewasakan di tanah Ngayogyakarta, yang baru belakangan ini saya
ketahui, bahwa kekayaan dan cerita masa lalu yang semakin membuatku jatuh
cinta. Ya, kecilku memang anak badung, yang terkenal saentoro kampung. Ibuku
angkat tangan dengan kenakalan yangku perbuat. Sejak kecil, aku juga jarang
pulang ke rumah.
Masa kecilku, aku habiskan untuk bermain, baik pagi, siang sampai malam.
Bisa di bilang jarang sekali tidur di rumah. Meski badungnya setengah setan,
banyak orang yang tetap menyayangi, menyanjung, dan mencintaiku. Entah karena
apa, sejak kecil, banyak orang yang mudah sekali jatuh cinta dengan sosokku.
Tak terasa waktu membawaku tumbuh besar. Entah, sejak kapan kenakalanku
hilang. Teman, tetanggaku yang menjadi bulan-bulanan korban kenakalanku semasih
kecil, kini mulai berani menyapaku dan kamipun mulai bermain bersama. Aku tidak
lagi menindas, baik sengaja atau tidak sengaja melukai mereka. Entah kapan
persisnya kesetananku menghilang. Pernah suatu ketika, ketika bermain bersama
tetanggaku “Mbak, kok kamu sekarang jadi baik? Tidak nakali mbak Asih lagi.” Celetuk
adik si Asih sang terdakwa korban kekerasan masa kanak-kanak. Aku hanya
membalas tertawa, geli mengingat masa kecil yang sebenarnya sangat menyenangkan
untuk diingat.
Hingga aku dewasa, saat aku mulai mengenali, begitu gemerlapnya dunia ini.
Begitu banyak permainan yang menyilaukan mata. Permainan kanak-kanakku yang
dulu, secepat kilat lenyap tak lagi dipermainkan dan di dendangkan anak-anak
kampung. Mendadak, kanan kiri rumahku yang dulunya kebun penuh pepohonan
rindang dan singup, sarat rumah dedemit, kini berubah menjadi rumah dan usaha
konblok. Anak-anak tidak lagi main gatheng,
yeye, margenjo, benthik, pasaran dan mainan teblek-teblekkan. Kini, anak-anak berganti mainan ponsel keluaran
terbaru. Begitu indah dunia ini.
Sejak kecil, anak-anak kanan kiriku adalah anak-anak berpunya. Ketika dewasa,
masih sama, ketika anak-anak minum susu, aku juga minum susu karena pemberian
tetangga yang sudahku anggap keluargaku. Ironisnya, kedua kakakku jarang
minum susu. Beruntunglah aku, yang sejak kecil hidup dalam kemiskinan, namun
masih tetap bisa menikmati sedikit kemewahan. Sampai dewasa ini.
Sering dulu menyesali takdir hidup yang hidup serba kekurangan.
Ironisnya, aku baru menyadari susahnya mendapatkan sesuap nasi, ketika aku
sudah dewasa. Yah, aku baru tahu selama ini, kedua orangtua sering makan nasi
tanpa lauk. Padahal, selama ini aku makan nasi dengan lauk kesukaanku. Itu yang
membuat hatiku tersasayat pilu. Sempat berontak di dalam hati, akhirnya saya
memahami tentang hidup. Yah, hidup.
Semakin dewasa, semakin ku tahu banyak hal tentang rumahku. Selama ini,
aku hidup sesuka hati, sak wudele dewe.
Yah, kedua orangtuaku tidak pernah menceritakan sedikitpun tentang nenek dan
buyutku. Baruku tahu asal usul mereka dewasa.
Pernah suatu ketika, ketika aku menangis tanpa henti seharian, kemudian
Ibu binggung menghentikan tangisku. Sambil menahan sedih dan tangis,ibu
memelukku yang tertidur di atas dipan keras dengan sesengukan. Ia menceritakan
masa mudanya yang telah di tinggal mati kedua orangtua. Ia harus berjuang hidup
dengan berjalan kaki puluhan km hanya demi sesuap nasi. Selepas subuh, membawa
daun jati yang dipetik di alas, di jual ke Pasar Piyungan jalan kaki.
Remang-remang, ibu dan Pak Dhe-Pak Dhe dan Lik-likku bersama-sama seperti semut
berbaris rapi. Di bawah keremangan fajar Shodiq, mereka menyeberangi sungai
Kembangsari yang kencang. Waktu itu, usianya masih kecil. Ibu, belum SD waktu
itu. Ternyata, karena Nenek adalah salah satu orang Kyai yang cukup di segani,
sepeninggalan kedua nenekku banyak orangtua santri-santri yang iba, kadang
memberikan sedikit rejeki untuk keluarga Ibu. Disitulah mereka bisa makan.
Entahlah, cerita yang sebenarnya lebih dramatis. Sampai-sampai, aku yang
menangis karena keinginanku tidak terturuti, semakin pecah menangis mendengar
penderitaan Ibu sewaktu kecil. Di kepalaku yang terfikirkan, “kenapa sudah
hidup lebih baik masih nakal dan minta ini itu”.
Lain cerita, ketika bersama Lik-ku yang katannya dulu masih bayi. Lik-ku
sempat diasuh oleh Mbah Lanang beberapa Tahun (Simbah Lanang masih sugeng). Saat
itu, Lik-ku baru bisa merangkak, kayalnya ia mampu mengingat semua sampai
sebesar ini. Bahkan ada cerita lebih kayal lagi yang tidak bisa ditangkap
dengan logika. Yah, hanya aku pendengar setianya. Bahkan, Ibuku, sebagai kakak
perempuan kandungnya tidak percaya. Sampai suatu hari Lik-ku menasehatiku
begitu dalam “Kamu, jadi orang baik. Jangan neko-neko. Jangan ikut-ikutan orang
di luar sana. Banyakin Dzikir. Siapa tahu kamu ketiban rizkiNYA. Buyutmu dari
ayahmu itu orang sakti, muridnya para wali,” katannya.
Dari situlah, aku tertarik sosok “siapa sebenarnya buyutku”. Hal yang
jelas, setiap kali mau tidur, saat Bapak pulang dari buruh jalanan di Cina ke
Jogja, sering menceritakan tentang cerita kenakalan Bapak, yang berakhibat
fatal bagi nyawa Bapak. Namun, dengan satu gerakan saja Buyut berhasil
menyembuhkan Bapak detik itu juga. Pernah juga, setiap kali pulang kampung ke
tanah kelahiran bapak Semarang, banyak warga yang segan, bukan karena bapak
sakti, tapi karena kharisma Buyut. Yang dikenal sebagai sosok yang nguripi,
terpandang, lembah manah. Selebihnya, saya tidak ingin menceritakannya lagi.
“Jika dahulu orang sebelum-sebelumnya orang mapan, berada dan kaya.
Kenapa anak-anaknya menjadi orang tidak berpunya?” itulah kesempulan yang
sempat saya tanyakan setelah mendengar sedikit cerita.
“Justru orangtua yang memiliki kemapanan, kebanyak anak-anaknya yang
susah. Sisi lain sebagai bentuk ujian,” jelas Ibu seolah tahu apa yangku
tanyakan.
Ah itulah hidup. Terkadang, dunia terbalik. Ada benarnya lirik tentang “Iman
adalah mutiara, di dalam hati manusia, yang meyakini Allah….. Iman tak dapat di
warisi, dari seorang ayah yang bertakwa, ia tak dapat di jual beli, ia tiada di
tepian pantai. Walau apapun caranya jua, engkau mendaki gunung yang tinggi.
Engkau merentas lautan api, namun tak dapat jua dimiliki. Jika tidak kembali
pada Allah,” lirik ini sama halnya dengan kekayaan yang tidak bisa diwariskan
kepada anak-anaknya. Kekayaan tidak menjamin anak-anaknya hidup mewah dan
bergelimpangan harga sampai akhir hayat. Bahkan, kenakalan dimasa kecil tidak
menjamin seseorang akan menjadi orang yang bejat di masa tuanya. Begitupun
dengan orang yang baik di awalnya, tidak menjamin menjadi jiwa dan hati yang
baik, bisa juga ia menjadi sosok yang sebaliknya, sosok yang membahayakan dan
mengerikan.
Kekayaan, Keimanan Tidak Dapat Diwarisi
Reviewed by elisa
on
Sunday, March 15, 2015
Rating:
No comments: