Zona Nyaman vs Zona Gonjang-ganjing
Tik tok, waktu terus berputar. Tik tok waktu tidak bisa berputar
kebelakang. Tik tok, tidak bisa mengulang waktu yang terlanjur terlontar. Tik
tok, putaran jarum jam terus melesat ke depan. Bagaimana dengan diri kita? Apakah
masih tetap berdiam diri di satu tempat bernama kesedihan dan kegelisahan? Atau
tidak mempedulikan aral melintang, tetap melaju dan melupakan semuanya?.
Beberapa hari yang lalu, saya memiliki teman baru yang menceritakan
masalahnya. Ya, sebenarnya saya dengan dia sama. sama-sama memiliki masalah
sendiri. Hanya saja, bentuk masalah yang saya dan dia hadapi berbeda. Di
Bluelogoon ia bercerita banyak kisah. Hingga akhirnya sayapun berfikir dan
bertanya pada diri sendiri.
Lagi-lagi masih masalah hati. Yah, namannya anak mudah. Bermain hati dan
mempermainkan hati sendiri itu seperti mainan yoyo. Ditarik menjauh, kemudian
ditarik mendekat dengan asyik, tapi ketika jidad terbentur oleh yoyo, ya mewek
dan kesakitan. Tidak ada salahnya menoleh ke belakang. Tahun pertama, ketika
rasa tidak ikut campur, terasa indah, berbunga-bunga dan segala keindahan yang
lainnya. Lagi-lagi “tik tok” terus berjalan, mendesak untuk mencari tahu sebuah
jawaban, “Sebenarnya apa? kenapa? Bagaimana?”
Ketika terjawab sudah, mulai ada sisi kotor dari hati dan pikiranku.
Ibarat seperti mendung, yang mendadak hitam dan mendadak cerah. Waktu terus
bergulir, ketika mendung tiba, jangan ditanya, pasti terjadi gerimis dan hujan,
baik lokal maupun beberapa lokal ikut turun hujan. Ketika cerah, indahnya
hidup, tertawa bersama, senyam-senyum seperti orang gila dan betapa
bersyukurnya menemukan sosoknya. Ah, jika mengingat waktu itu, betapa rindunya
hati ini.
Tik tok, terus berjalan. Kita tidak boleh jalan ditempat, terus menerus
di zona aman. Apapun pergerakannya, harus tetap berpindah dari satu titik
lokasi. Jika terus menerus di satu titik dan terlena di zona aman, kita akan
tertinggal jauh oleh waktu. Kita juga tertinggal jauh oleh teman-teman kita
yang berani melangkah.
Kembali kabut tebal menyelimuti, kemudian cerah lagi. Terus seperti itu,
tak terasa hampir satu tahun mendung dan cerah ceria terlewati. Hingga pada
satu titik, detik ini saya kembali melihat ke belakang. Dari bulan ke bulan
yang fluktuatif itu, semakin memburuk dan semakin sering mendung dan hujan. Ah,
setiap kali rindu sebenarnya aku inginkan pagi yang cerah ceria dan
membahagiakan. Saling berbagi, saling mengingatkan, saling memperhatikan dan
saling mengungkapkan tanpa terhalang oleh perasaan “tidak enak” dan norma “kepantasan
atau tidak pantas”.
Sempat berfikir, untuk kembali seperti yang dulu. Karena hidup dalam
kekotoran dan prasangka sangat melelahkan.
Kembali bertanya pada diri sendiri, Seberapa lama kuat jalan ditempat dan
kembali ke zona aman lagi? Ah, mungkin lain cerita jika rasa dan batasan “kepantasan”
& “ketidakpantasan” itu tidak tertanam erat dalam benak. Ah, pasti jika
tidak mempermasalahkan komitmen akan terus cerah ceriah. Kembali lagi, fungsi
dari sebuah komitmen bukan persoalan menguntungkan pihak saya atau pihak
mereka. Tetapi untuk kedua belah pihak.
Komitmen itu seperti rel kereta api agar berjalan sesuai jalurnya. Agar
tidak terjadi kecelakan antar kereta api yang berlawanan dan tidak melukai dan
menimbulkan kematian penumpang. Fungsi dari sebuah rel adalah meminimalisir
terjadinya kematian masal, sekalipun terpaksa terjadi kecelakaan, setidaknya
kecelakaan tunggal. Komitmen itu berfungsi sebagai pengingat.
Berbicara soal komitmen, maka akan berbicara tentang keputusan. Berbicara
soal keputusan, keputusan kita “tidak mengambil keputusan” juga bagian dari
keputusan dan komitmen. Ya, sebagai orang jawa abangan semua itu muncul karena pengaruh dari norma sosial.
Sebagai orang jawa yang patuh pada norma sosial. Tentu menjadi beban
tersendiri. Memang, bisa saja tidak mengikuti aturan, namun aturan tetap
berfungsi sebagai pembatas. Pembatas pantas dan tidak, pembatas terhormat atau
tidak. Bahkan, dalam Islampun juga memberikan batasan-batasannya.
Ah.. tulisannya kok semakin melebar. Ngomongin apa jadi ngomongin apa. Kembali
berbicara tentang cuaca yang cerah ceria? Ah saya merindukan masa-masa ceria. Sangat
merindukan masa lalu. Semua runyam karena perasaan dan pikiran subjektif. Dimana
dua hal itu terjadi ya karena itu tadi, karena memutuskan untuk tidak
berkomitmen. Ketidak komitmenan juga bagian dari sebuah komitmen, yang
menyebabkan langitnya galau mau cerah atau mau mendung. Dan saya sudah binggung
mau nulis apa. Jadi, saya sekian sampai di sini ya.
“Mungkinkah bisa cerah ceria kembali? Dengan rel yang jelas? Betapa bahagianya
membayangkannya. Padahal tahu, mendung gelap akan terus menyelimuti sampai
tidak sadar “tik tok” waktu meninggalkanku, mengkerdilkan mental. Tidak ada
salahnya berekreasi dengan fantasi. Hanya lewat fantasi dan khayalan jiwa mampu
mendobrak ketidakmungkinan menjadi mungkin”, itulah pikiran yang cobaku lakukan
untuk menghibur diri.
Zona Nyaman vs Zona Gonjang-ganjing
Reviewed by elisa
on
Thursday, February 05, 2015
Rating:
No comments: