Masalah Tidak Memandang Dia Bodoh atau Berilmu!
@Foto : Elisa |
Seseorang yang memiliki banyak ilmu tidak selalu bisa bersikap bijaksana
jika belum pernah merasakannya sendiri. Salah satu cara agar mampu merasakannya
dengan cara mengalami sendiri. Ibarat gelas yang terisi air penuh, air akan
meluber. Karena orang yang pintar hanya dijejali oleh banyak spekulasi, ilmu
dan pendapat saja – kita harus tahu, buku terbitan adalah salah satu bentuk
opini, spekulasi Si penulisnya. Tidak ada satupun buku yang 100% benar, jaminan
itu. Hanya satu yang bisa dipastikan kebenarannya, yaitu Kitab Suci!. Itulah
selama ini kita membaca buku dan mempelajari teori, sebenarnya mempelajari
pikiran dan pendapat orang lain – untuk bisa merasakannya harus dengan membuang
semua air di dalam cangkir itu.
Beberapa hari yang lalu saya melihat sebuah ulasan tentang filosofis padi
berisi akan semakin merunduk. Apabila seseorang yang memilik banyak ilmu,
harusnya semakin merunduk. Namun ada juga yang menggunakan filosofi pohon
bambu, Semakin tumbuh tinggi, maka akar semakin kuat mencengkram tanah. Namun
setiap pucuk bambu itu selalu lunak. Menggambarkan seseorang yang semakin
berilmu semakin kokoh kuat tetapi tetap bersikap tidak sombong.
Para peneliti psikologi sosial berkesimpulan bahwa, pada dasarnya manusia
terprogram untuk memonitor dan menjadi sensitif terhadap informasi sosial
ketika kebutuhan mereka untuk diterima tidak terpenuhi. Perasaan ditolak dan
tidak diterima ternyata tidak pandang bulu. Bisa saja menyerang mereka yang bodoh
dan yang berilmu. Sebagian orang yang berilmu dan mampu memahami diri dengan
baik, ia bisa bersikap seperti dua paragraf diatas. Namun, banyak pula orang
yang berilmu bersikap sama bodohnya dengan orang-orang yang bodoh.
Rasa kesal, marah dan perasaan negatif yang lain lebih banyak mengingat kejadian
sosial yang bersifat positif dan negatif. Berbeda dengan orang yang tidak
pernah merasakan perasaan negatif, tidak banyak informasi yang diingatnya. Baron
& Bryne juga pernah menjelaskan, manusia juga lebih mudah mengingat
informasi negatif daripada informasi positif. Alasan kenapa informasi negatif
lebih mudah diingat sebagai mekanisme pertahanan diri. Kembali lagi, manusia
sebagai monitoring untuk hidupnya sendiri. Ibarat mesin seismograf yang
memantau getaran bumi.
Fitrah manusia sebagai mahluk sosial mendorong manusia secara alamiah
melakukan afiliasi, yaitu motif dasar untuk mencari dan mempertahankan relasi
interpersonal. Menurut Hill (1987) memiliki dua motif afiliasi, yaitu motif
eksplisit berupa kebutuhan akan dukungan sosial. Dukungan sosial disini
memiliki cakupan yang lebih luas. Sedangkan motif implisit melingkupi kebutuhan
akan perhatian dan kebutuhan akan perbandingan sosial.
Ketika afiliasi tidak disambut dan tidak tersambut akan menimbulkan
agresi. Sehingga terjadi semacam perasaan ditolak dan tidak dihargai. Bahkan konflik
perasaan ditolak berlaku untuk komunikasi di jejaring sosial, mulai dari SMS,
dan media sosial seperti FB, Twitter, Path dsb. Setidaknya ada 62 negara
ditemukan bahwa pengucilan lewat chat (komunikasi lewat elektronik) mampu
menimbulkan emosi negatif dan perasaan hilang kontrol. Kasus-kasus seperti ini
ternyata memicu seseorang untuk bertindak lebih selektif mengenai informasi
sosial yang diterimanya. Bentuknya bermacam-macam, mulai seseorang lebih
menjaga jarak, labil, bahkan menghindar pergi sejauh mungkin dan lain
sebagainya.
Dari paragraf ini, nantinya akan memicu perasaan perasaan “suka” dan “tidak
suka”. Kemudian juga akan berdampak pada prasangka dan mempengaruhi penilaian
seseorang. Untuk kelanjutan, tunggu penulis memiliki mood untuk mengulas lebih
detil dilain kesempatan.
Masalah Tidak Memandang Dia Bodoh atau Berilmu!
Reviewed by elisa
on
Saturday, October 25, 2014
Rating:
No comments: