Sporadis
Alika
Putrinisa berlari terenggah-enggah. Anak tangga didaki. Bajunya berkelabetan karena
angin. “Masih dua lantai lagi,” bisiknya sambil berlari kecil. Ia mengejar
waktu, kelas sebentar lagi dimulai. Alika, itulah sapaan akrabnya. Salah satu
Mahasiswa jurusan MIPA yang belum lama belajar di Universitas Gadjah Mada,
sekarang ia semester dua. Dia sosok perempuan yang enerjik, ceria dan biang
kerok di kampus. Pakaiannya terlihat seperti laki-laki, namun siapa yang tahu
hati seseorang, hatinya tetaplah seorang perempuan.
Terlihat
anak-anak memasuki kelas, Alika belum juga menampakkan batang hidungnya. Kelas
telah dimulai. Semua mahasiswa menyimak pak Margono. “Alika belum datang pasti
kesiangan lagi, tugasnya jangan-jangan belum dikerjakan,” bisik Rima kepada
Febri. BRAK!! Spidol melayang ke arah mereka berdua “Jika mau diskusi sendiri,
keluar saja dari ruangan ini!” Teriak Pak Margono menyeramkan. Mereka berdua
terdiam dan kembali memperhatikan pelajaran. Sebelum akhirnya Alika masuk
dengan teregopoh-gopoh ke kelas besar.
Semua
mata tertuju pada gadis bergaya rambut segi pendek, dengan pakaian yang
terlihat berandalan. “Kenapa kamu masuk?!” Teriak Pak Margono. “Maaf Pak,
kesiangan dan tadi kehabisan bensin,” Jawabnya sekenanya. “Sana duduk, nanti
hukumannya bapak tambah!”. Alika duduk tidak jauh dari kedua sahabatnya.
***
Jam
pagi telah usai, seperti biasa, mereka bertiga Rima, Febri dan Alika menuju ke
kantin. “Eh, nanti ada konser, dateng yuk?” ajak Rima yang gila dengan musik
Jazz. “Tiket sesuai dengan dompet kita kan?” tanya Febri, ia salah satu
laki-laki yang tetap memiliki percaya diri bergaul dengan sekelompok perempuan.
“Okelah, aku ngikut kalian saja,” sahut Alika.
***
“Wa,
ayo foto bareng dengan pemainnya,” geger Rima
“Lumayan
tuh buat bukti kalo tidak hoax ketemu artis setenar mereka,” Febri menambahkan.
Mereka berdua berlari bak anak kecil berebut permen. Alika yang selalu tidak
peduli dengan hal remeh temeh terpaksa mengikuti mereka. Jalannya pelan dan
terkesan tak berminat. Memang, sejak awal Alika tidak suka dengan musik Jazz.
“Ka!
Fotoin kita dong!” teriak Rima. Febri berlari mendekati Alika yang masih
tertinggal di belakang mereka, Febri menyodorkan sebuah kamera miliknya. Alika
menerimanya dan mulai jeprat jepret mengambil gambar.
Berjalanlah
seorang pemuda bertubuh semampai, menggunakan kacamata. Dari balik panggung
berjalan mendekati Febri, tak lama kemudian menepuk pundaknya “Hai! Bro! kamu
dimana saja sekarang? Kamu Febriprawiro Gunawan kan?” sapa sosok lelaki yang
diketahui ternyata teman lama Febri. Putra Pratama, itulah nama panjangnya. Dia
merupakan sahabat karib Febri saat masih duduk di bangku SMP dulu di Bandung.
***
Berjalan
diantara pepohonan trembesi. Musim kemarau membuat dedaunan berguguran. Alika
meninggalkan rumah, kali ini tidak lagi bersama kedua sahabatnya. Ia pergi
sendiri ke Hotel Santika dalam rangka Launching buku kelima salah satu
temannya. Sutarto itulah namanya, atau biasa disapa dengan Mas Tarto. Alika
kenal sangat baik dengannya, dia sudah dianggap sebagai kakaknya sendiri. Bus
Transjogja telah membawanya pergi. Shalther Gedongkuning semakin jauh hingga
tak terlihat.
“Jadi
penjualan buku murni akan disumbangkan seluruhnya ke anak-anak yatim. Jadi buku
ini proyek santunan untuk anak-anak Yatim,” Jawabnya ketika ada salah satu
orang menanyakan pendapatan Royalti. Alika terpukau dengan penampilan Mas Tarto
saat itu. Sosok kakak angkat yang selama ini telah menghidupinya dan
mengkuliahkannya hingga Perguruan Tinggi dengan Prestasi yang tidak terlalu
buruk.
Kerumunan
orang mulai menghilang satu persatu. Alika masih duduk dibangku depan, Alika
sengaja menunggu Mas Tarto karena ada hal urusan dengannya. Sementara di
ruangan itu tidak ada satupun orang selain panitia dan salah satu pemuda
mengenakan kemeja. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, mengenakan kacamata masih
asyik berdialog dengan Mas Tarto. Memang tidak asing pemuda yang tengah ngobrol
dengan Mas Tarto. Dia adalah Putra Pratama, tak lain dan tidak bukan sahabat
Febri.
Kedekatanpun
mulai terjalin diantara Alika dan Putra. Entah sejak kapan mereka saling
berkomunikasi satu sama lain. Komunikasi sebatas lewat Jejaring sosial dan
pesan singkat saja. Selebihnya mereka nyaris tidak pernah bertemu. Tresno Jalaran Seko kulino itulah yang
terjadi diantara keduanya. Tak ada kata jadian diantara mereka secara resmi.
Seiring berjalannya waktu, mereka sesekali (tidak sering) menyempatkan bertemu.
Bercengkrama dan bersendau gurau. Mereka seperti burung pipit yang terbang dari
dahan satu ke dahan yang lain penuh suka cita. Suaranya terdengar Indah.
Dibawah
pohon Trembesi mereka duduk berdua, mendengarkan sebuah lagu kesukaan mereka.
Sesekali mereka melempar pandang sarat makna. Dedaunan trembesi pun sebagai
pelengkap harmoni. Angin yang sepoi-sepoi semakin memberikan apersepsi diantara
mereka. Sebuah kidung terindah dalam hidup mereka. Keduanya masih cukup muda
jika ingin menginjak ke pernikahan, usia Alika 21 tahun, dan Putra 25 tahun.
Secara materi mereka belum cukup mapan, karena Diusianya ke-25 Putra akan
diwisuda S2nya.
Cinta
memang membutakan manusia. Diusia yang cukup muda, mereka memutuskan untuk
menikah. Februari tahun 2012 mereka memutuskan untuk mengawali hidup baru.
Berkat keberanian mereka menggambil resiko, mereka memutuskan tetap
melangsungkan kehidupan mereka, sebagaimana mestinya mereka. Mereka berprinsip
tidak berpacaran terlalu lama. Menikah bukan berarti penghambat mengejar karir.
Mereka hidup bahagia, meskipun secara materi tidak termasuk keluarga kaya raya,
tetapi keluarga yang cukup. Tidak ada suatu kekurangan yang terlalu besar. Buah
cinta mereka yang kini telah berusia satu tahun menjadi pelengkap kebahagiaan
mereka.
***
Pagi
yang begitu cerah. Putra seperti biasa berangkat bekerja. Satu tahun terakhir
ia sudah diterima oleh salah satu Perguruan Tinggi Negeri yang cukup bergengsi
di Yogyakarta. Ia telah menjadi seorang dosen teladan. Banyak prestasi yang ia
dapatkan. Bahkan di usianya yang ke 27 ia berhasil mendapatkan gelar S3. Awan
berarakan, kabut mulai berjatuhan, matahari mulai meninggi. Jalanan
Yogyakartapun padat merayap di jam kantor. Takdir siapa yang tahu, di usianya
yang ke-27 tahun harus pulang ke sang Pencipta tanpa permisi kepada istri dan
orangtua. Tidak sempat mengucapkan maaf kepada mereka, tidak sempat
membahagiakan mereka secara total. Siapalah
yang tahu batas usia setiap hamba. Semua terserah sang Pencipta, pemiliki alam
jagat raya.
***
Alika
bekerja siang malam menghidupi keperluan buah hatinya yang masih sangat belia.
Setiap pagi Alika bekerja. Sepulang bekerja ia akan merawat buah cinta kasih
mereka. Putri Maulidya, itulah nama buah hati kesayangannya. Meskipun sebagai
wanita karir, ia tidak ingin sedikitpun menelantarkan Putri. Sebiasa mungkin
Alika memberikan kasih sayang yang cukup, memberikan materi agar pertumbuhannya
tetap berjalan. Hubungan mertua dan orangtua masih sangat-sangat baik.
Pihak
orangtua seringsekali merasa simpatik dengan keadaan putri dan menantunya. Saat
kepergian Putra, wajahnya pucat pasi. Namun demikian, hatinya begitu tabah dan
tegar. Bagi Alika mencintai itu memberi
tanpa berharap diberikan imbalan. Itulah yang diajarkan oleh suaminya
sebelum kepergiannya. “Ia tidak pernah memberiku kebahagiaan berupa uang,
tetapi ia mengajarkan bagaimana bahagia tanpa uang. Dengan cara mensyukuri dan
tidak berharap pada manusia. Cukup hanya Allah tempat bergantung,” paparnya
padaku saat bersua beberapa hari lalu.
Alika
sosok wanita penyabar. Awalnya dia wanita yang tomboy, setelah bertemu Putra,
ia berubah menjadi wanita yang sangat anggun dan bertutur kata yang lemah
lembut, seperti hatinya. Apalagi saat Putri lahir di dalam hidupnya, Alika si
manja mendadak menjadi wanita yang begitu dewasa. Sebelum berpisah dengan Alika
di forum Diskusi, kalimat yang paling aku ingat adalah Aku tidak bisa mewariskan harta kekayaan, tanah dan rumah kepada
Putriku kelak. Aku hanya mampu mewariskan Ilmu untuknya. Dengan ilmu, putriku
mampu mendapatkan kekayaan. Tetapi dengan harta kekayaan tidak bisa menjamin.
Kalimat kedua yang masih aku ingat lagi adalah “Kehidupan itu terlihat sporadis, berserakan. Bahagia, sedih dan sakit
itu salah satu tinta yang semakin memberikan keindahan. Meskipun sporadis,
cobalah naik dari ketinggian, dan lihatlah ketidakberaturan hidupmu, dia akan
tampak indah. Tetap jalani hidup yang sporadis dengan suka cita, kau akan
temukan lebih banyak keindahan di sana. Semakin banyak keikhlasan dan jangan
menyerah menghadapi masalah, semakin banyak kerlip di hati, semakin
mengindahkan kehidupan kita ke depan. Semakin tidak mau berdamai, semakin
sedikit kerlip bintang, karena lebih banyak didominasi oleh gelap gulita[1].
________________the
end________________
Catatan : Tulisan ini diikutkan dalam Lomba #AkuOraPopo yang diselenggarakan oleh Diva Press
[1] http://matalensa-elisa.blogspot.com/2014/02/sporadis.html
Sporadis
Reviewed by elisa
on
Sunday, March 30, 2014
Rating:
No comments: