OBROLAN MAKAN SIANG
Terengah-engah. Hati dan
logika beradu. Seperti kuda bekejaran, saling berebut agar bisa menjadi baris
terdepan. Desi kembali menata hati yang beringsutan akibat badai lalu. Entah apa
yang membuatnya menangis dan merasakan sakit. Bagiku itu bukanlah kesedihan dan
bukan pula sebuah luka yang serius. Bagi Desi seperti endemik.
Sebagai sahabat baiknya,
Desi bukanlah sosok orang yang mudah menangis, dan bukan sosok pendendam,
menyakiti orang lain. Bahkan dia rela melakukan apapun demi orang-orang yang
disayanginya. Termasuk mengorbankan dirinya. Sering, saat berjalan bertiga,
kami selalu tertawa, tak sedikitpun kita dibuatnya sedih, sbaliknya, aku juga
tidak pernah melihatnya tertangkap oleh orang lain bersedih. Sosok orang yang
lepas, seperti tidak memiliki beban. Orang yang ramai dimanapun, bahkan toko
yang sepi senyap mendadak ramai ketika ada kita bertiga. Entah apa yang
membuatnya seperti itu.
“Melepaskan mungkin lebih
baik, yang jelas, aku tidak akan melepaskan kalian berdua,” katanya dengan
senyum dan dengan nada yang semangat, kami pun menerukan makan. Sesekali aku
melirik, jelas matanya tidak bisa berbohoong. Saat itu aku dan Aurel melihat
dibalik ucapan dan tingkahnnya menyimpan banyak arti. Tidak banyak orang yang
tahu lebih banyak tentang Desi, selain aku dan Aurel.
Dua tahun lalu, kami mulai
mengenal satu sama lain, dibalik keramaian dan keceriaannya, baruku ketahui di
dalamnya yang terjadi justru sebaliknya. Sikap dan dalamnya lebih kompleks dari
sikap yang ditampilkan. Sikap yang cuek, simple dan easygoing. Dari kita
bertiga, Desi orang yang paling sibuk, bahkan aku dan Aurel tidak bisa
menjalani hidup yang dijalani Desi, tetapi dia masih sangat loyal, sangat loyal
dan fleksibel, terutama dengan teman-temannya.
Cinta, itulah yang sering
kita obrolkan. Kita tertawa saat membicarakan soal cinta, terkadang pula kita
menahan sesak membicarakan cinta. Pertamakali bertemu, tak pernah menyinggung
cintanya. Waktu pun berjalan, setelah Desi menemukan kenyamanan bersama kita,
akirnya terkuaklah. Dia orang yang paling bodoh dalam urusan cinta, oh bukan,
lebih tepatnya dia orang yang terlalu baik. Awalnya aku dan Aurel masih bisa
menerima, meski sedikit kesal pada seseorang yang telah membuatnya kembali
menahan sakit. Desi tidak menunjukkannya kepada kami, tetapi kami bisa
merasakannya, karena sahabat kami.
“Aduh… masak kamu harus
lost-kan lagi Des?. Aku tidak tega melihatmu seperti ini lagi,” bisik Aurel
“Tapi lebih baik tahu
sekarang daripada kemudian. Toh, sakit sekarang lebih baik, daripada sakit
kemudian, karena rasanya semakin menumpuk. Mending sekarang, selagi belum
terlalu banyak tumpukan rasa sayang,” paparku agar tidak mendramatisir
Lagi-lagi Desi
menanggapinya dengan bercanda. Ia masih tertawa dan menggoda kita berdua. Kadang
dengan tingkah anehnya itu membuatku marah, memakinya dan memukulnya. “Sadar! Posisimu
sedang sedih, bukan bahagia dan senang!!” namun kalimat ini aku urungkan,
karena tak ada gunanya. Toh Desi bukan orang yang terlalu bodoh, mungkin ini
caranya dia mencairkan suasana, dan tak ingin merepotkan kita.
“Lalu?” tanya Aurel masih
penasaran dengan langkahnya
“Ya jalani yang ada di
depan!. Kenapa harus diperdebatkan dan di ambil masalah. Kau tahu saat kamu
sakit cinta, apa pertamakali yang aku bawakan padamu?” tanya Desi mulai angkat
bicara.
“Saran!” jawabku
“Lalu?” tanyanya
“Mengembalikan kepercayaan
diri dan kehangatan,” imbuh Aurel
“Lalu? Apakah ada yang
lain yang kalian tangkap? Dan apa yang paling berharga dari itu semua?”
Kami hany diam, melempar
senyum, aku mengangkat bahu.
“Saat aku tidak memiliki
uang kecil, kamu memberikan uang kecilmu untuk membayar makan, saat aku ingin
mengembalikan, kau menolak uangmu. Dilain kesempatan, kasus yang sama, aku
gantian yang melakukan seperti yang kalian lakukan. Bukankah seperti yang kita
lakukan. Lalu apa?”
Lagi-lagi kita tersenyum,
kita tahu kami melakukan itu karena kerelaan hati, tanpa pamrih. Lewat hal-hal
kecil, namun kita menyadari itulah pupuk yang semakin menguatkan akar
persahabatan kita. “Jadi maksudmu, apa yang ingin kamu sampaikan?”
“Cinta juga seperti apa
yang seharuskan kita selama ini berikan. Kamu pernah menjawab pertanyaankkku
cinta itu apa?, kau menjawab sebuah pengorbanan dan cinta. Ketika kamu melihat
dengan keterbatasan pacarmu seperti itu, kau tetap menerima dia apa adannya. Kamu
tidak akan bisa menerima jika kamu tidak mengikhlaskan egomu. Begitupun yang
aku lakukan setiap cinta yang melintas di depanku. Jika bukan untukku, aku juga
akan mengikhlaskan,”
“Bodoh!” hardik Aurel
sedikit kesal mendengarnya “Sampai kapan?, aku tidak tega melihatmu seperti
itu!” tambahnya dengan kesal lagi.
Desi masih lahap makan
ikan bakar manis kesukaannya, seolah tidak mendengarkan hardikan Aurel. Setiap
kali makan, kita biasa bercerita, berdiskusi dan shering sebuah tema. Kali ini
edisi khusus, membahas soal cinta.
“Ketika kamu bertanya
sampai kapan? Aku pun akan menjawab dan melakukannya sampai Tuhan bosan
mengujiku dengan cara seperti ini. inilah hidup, kau merasakan asmara yang
berakhir pelepasan itu hal yang menyakitkan dan paliing menderita. Itu mnderita
bagi kalian, karena kalian tidak mengalami kegagalan seperti yang aku lakukan. Tetapi,
aku yang merasakannya, biasa saja. Seolah tidak terjadi apa-apa. Akan menjadi
angin lalu. Meskipun saat ini mungkin akan berdarah-darah, dua hari kemudian
aku akan kembali. Tdak usah dirisaukan. Cinta akan datang pada pasangannya,
jika dia pasangannku akan kembali dengan segala cara, sebaliknya, tak perlulah
menuntut banyak pada Tuha. Kurang apa kita padaNYA,”
Kami pun melanjutkan
perjalanan menuju tempat kerja, entah sepertinya Desi memiliki kepribadian
ganda. Di kantor pun ia masih bisa bercanda, sepereti hari biasa, seolah-olah
tidak memiliki masalah. Dari Desilah aku belajar, belajar artinya sebuah arti
hidup. Entah, akan mengalah sampai berapakali, dan entah akan ada berapa edisi
jatuh cinta setelah bangkit dari jatuh, dan bangkit untuk jatuh lagi. Ini menyangkut
ujian dari Pencipta, untuk melihat seberapa kuat dan seberapa ikhlas sahabatku.
Satu hal yang pasti, dia
selalu membuat kita tersenyum di tengah-tengah hati yang beringsutan, hal yang
membuatku selalu tertawa jika mengingatnya, dia selalu mengatakan hal ini “Selalu
ada edisi untuk jatuh cinta”. Sebagai sahabatnya, kalimat ini hanya menenangkan
kita, dalamnya aku dan Aurel tidak tahu pasti. Obrolan siang yang cukup
membuatku semakin berhati-hati menjaga kekasihku saat ini. dari Desi,
setidaknya aku mampu melihat sudut laki-laki dalam urusan satu ini.
OBROLAN MAKAN SIANG
Reviewed by elisa
on
Monday, January 20, 2014
Rating:
No comments: