Merasionalkan Irasional terhadap Persepsi Subjektif
Foto : Elisa |
Merasionalkan
irasional langkah menetralkan konflik, judul yang rasanya berat untuk di
nikmati bukan?. Mari meregangkan penat aktifitas dengan bermain logika. Kategori
rasional itu seperti apa?. Apakah “Kebahagiaan itu harus berupa uang” atau “Uang
tidak menjamin kebahagiaan seseorang”. Dua kalimat ini mana kalimat yang rasional
dan tidak rasional?
Orang
yang hidup sejak kecil terkondisi ekonomi pas-passan dengan orang yang hidup
sejak kecil berlimbah materi akan berbeda. Ekonomi kecil akan berfikiran bahwa
orang yang tidak memiliki uang tidak akan pernah merasakan bahagia. Berbeda,
bagi mereka yang hidup sejak kecil tercukupi dengan limpahan materi. Wajar jika
orang yang mapan tersebut berasumsi bahwa uang bukan jaminan kebahagiaan. Bukankah
kebahagiaan akan muncul karena pernah merasakan hal yang tidak membahagiakan/tidak
menyenangkan? Jadi wajar jika orang yang berlimpah materi sulit merasakan
kebahagiaan, karena standar tidak bahagia
tidak pernah dirasakan.
Relatifitas
menjadi kunci “rasa” yang berbeda-beda bagi orang lain. Analoginya susu kedelai
mungkin bagi teman enak, tetapi bagi penulis susu kedelai minuman yang memualkan.
Berangkat dari kata relatif berarti tidak boleh diberlakukan sama. Lagi-lagi
tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah. Lalu bagaimana dengan sugesti
yang dominan?, tepatnya lebih dianggap sebagai ancaman. Apa dampak yang
ditimbulkan? Sebelum ke inti kita melihat beberapa kasus menyangkut hal ini.
Pertemuan
penulis kepada teman SMP beberapa hari lalu dipernikahan. Ingat betul yang
dikatakan Eni (Teman penulis tersebut) yang menyatakan bahwa bekerja sosial itu
perlu dan penting, sehingga kwalitas hidup lebih bermakna. Soal uang belakang. Lewat
obrolan panjang penulis menangkap memang kegiatan sosial yang dilakukannya
seabrek. Bagi Eni rasional, namun bagi penulis tidak rasional karena banyak
faktor yang menyebabkan penulis mengatakan hal itu. Setelah ngobrol lama
ternyata dia sekarang sudah bekerja mapan. Bekerja menjadi salah satu manager
di salah satu perusahaan yang cukup besar di usianya yang muda muda ini. Kembali
menengok kebelakang terjadi perbedaan prinsip saat penulis melakukan
perbandingan dengan teman kampus penulis yang harus membanting tulang, tak ada
waktu dengan kegiatan sosial.
Manusia
sehari memiliki waktu 24 jam. Mengacu aktifitas teman penulis, sejak pukul 07.00
WIB jadwal kuliah. Katakanlah jadwal kuliahnya selesai pukul 11.00 WIB. Sepulang
belajar mengabdikan diri bekerja sosial kepada orang tua yang lanjut usia namun
memiliki banyak beban, tiap harinya 5 jam. Di tambah bekerja sosial pengabdian
masyarakat di kampung dan instansi/organisasi lain, katakana minimal seminggu 2
kali per satu organisasi, katakan total menghabiskan waktu 12 jam per satu
minggu. Barulah pencarian nafkah mencukupi kebutuhan hidup sekitar 4 jam. Bekerja 4 jam kira-kira rupiah yang
akan di dapatkan berapa? Padahal normal bekerja 8 jam baru mendapatkan gaji
pokok UMR?. Beban biaya hidup berapa? Padahal beban biaya hidup juga tidak
murah. Angaran waktu tidur yang dipergunakan hanya sedikit jam. Sepintar-pintar
apapun memanajemen waktu, tak bisa dipungkiri rasa letih dan depresi ada, namun
tak terlihat kasat mata.
Kerja
sosialnya tidak ada yang menjadi masalah, dan kerja sosial juga satu keharusan
yang mau tidak mau dilakukan oleh setiap masyarakat yang mengaku sosialis. Lalu
yang menjadi permasalahan dimana? Dua kasus disinilah menunjukkan adannya
kesalahan persepsi subjektif yang digeneralisirkan kepada subyek lain.
Eni
beranggapan kerja sosial seperti paragraph di atas, karena secara financial sudah
tercukupi. Kerja sosial baginya nilai tambah bagi kualitas hidupnya. Karena persepsinya
yang telah dikuatkan, ternyata tidak berlaku untuk orang lain yang memiliki
kepentingan sendiri. Ingat pelajaran psikologi yang mengatakan bahwa manusia
sebagai manusia yang dinamis – Dari sinilah akan memicu perubahan sikap yang
membahas tentang bias negativitas, bias optimistic (kita bahas lain kesempatan)
Persepsi
subjektif inilah yang memicu semangat kerja menjadi menurun dan memicu
pertentangan maupun konflik batin. Mengapa terjadi persepsi subjektif? Persepsi
dapat mengakibatkan individu maupun kelompok mengalami perubahan sikap dan
tingkah laku. Manusia sebagai manusia sosial tidak mungkin hidup sendiri.
perubahan tingkah laku juga menyangkut tentang kognitif manusia.
Kesalahan
Persepsi sering ditemui dalam kehidupan masyarakat. Pernahkah Anda berkumpul
bersama teman Anda yang tengah duduk menunggu makanan pesanan diantarkan di meja?
Biasanya waktu luang saat menunggu makanan itu hadir apa yang Anda lakukan? Kebanyakan
orang akan mengobrol. Di tengah percakapan di meja sebelah juga sedang
membicarakan topic yang menarik Anda dan teman Anda. Tidak sengaja menguping
pembicaraan orang yang duduk meja sebelah bukan. Topic yang dibicarakan pun
menyebut seseorang yang ternyata Anda dan teman Anda kenal. Orang sebelah
menceritakan tentang kebiasaan buruknya.
Sepulang
makan, di lain waktu Anda dan teman Anda bertemu orang yang dibicarakan saat di
warung makan, apa yang akan dilakukan? Pasti sesuatu hal yang negative. Secara alam
bawah sadar telah menjastifikasi teman yang dibicarakan hari lalu tersebut
sesuai dengan perkataan orang yang belum dikenal di warung makan. Inilah yang
disebut sebagai kesalahan persepsi.
Dampak
kesalahan persepsi tentu akan berdampak pada perubahan sikap, dari sikap
mendorong perubahan tingkah laku. Lagi-lagi alam bawah sadar, Anda mungkin akan
menarik diri, menjaga jarak atau memasang wajah tidak enak dipandang. Berkaitan
dengan kesalahan persepsi. Jangka panjang perubahan tingkah laku inilah yang
akan menimbulkan konflik. Lambat laut persepsi subjektif ini akan
me-irasionalkan rasional. Sehingga apa yang sebenarnya tidak masuk akal –
akibat kesalahan mengambil informasi – kebenaran yang objektifnya masuk akal.
Daftar
Pustaka
Robert
a Baron & Donn Byrne. Psikologi
Sosial. Erlangga : 2004
Merasionalkan Irasional terhadap Persepsi Subjektif
Reviewed by elisa
on
Wednesday, March 20, 2013
Rating:
No comments: