HUJAN TAWA
Tahun baru 2012 banyak
orang yang merayakan. Mereka mencari kebahagiaan dan kesenangan menyambut
datangnya tahun baru ini. Bagiku tahun baru sama seperti tahun dan hari
biasannya. Tidak ada yang berbeda. Hari-hariku selalu istimewa. Seperti hari
ini.
Mendung menyelimuti
rapat matahari yang sedang demam. Sehingga mengeluarkan bersin hujan. Perlahan
rintik pun turun. Membasahi jalan beraspal yang biasa selalu memancarkan
fatamorgana. Aspal yang sering menusuk mataku setiap kali menatap jalan beraspal
itu kini menjelma mau tanah yang khas. Bau yang selalu mengingatkanku akan
kematian.
Suasana tempat kerja
dingin, hujan kian deras. Membingkai teras tempat kerja dengan sebuah gorden
transparan yang selalu bergoyang. Gorden alam yang jatuh dari genting.
Menyiratkan rintik-rintik serbuk air di keramik emper toko. Tidak hanya itu,
orang-orang kian memenuhi toko.
Berjam-jam hujan tak
kunjung reda. Beberapa mereka mulai nekat pergi berlalu tanpa jas hujan. Jalan
raya pun mulai digenangi air. Hingga tiba saatnya malam menjelang. Penulis
duduk sambil menyelesaikan kerjaan fotocopy yang tengah penulis jilid. Di
kejauhan terlihat montor semakin menepi. Insting klise mereka akan berhenti di
depan toko akan memfotocopi atau merental.
Imajinasiku mulai
bermain asyik sendiri. Berharap ketika mas pelanggan tersebut turun dari montor
dan melepas mantelnya datanglah minibus melaju dengan kecepatan tinggi. Maka
air yang menggenang di depan toko akan terbang seperti ombak tsunami yang
meluluhlantakkan.
“Hap!!!!!. Berhasil.
Hore!!!!!!”. Pekikku spontan sambil tepuk tangan. Saat itu juga aku tertawa
terbahak-bahak tak kuasa menahan tawa. Entah kebetulan atau apa, apa yang aku
imajinasikan terjadi persis.
Bayangkan seorang
mas-mas yang sudah berpakaian necis seperti artis yang ingin eksis narsis
tiba-tiba basah kuyub. Kebetulan juga orangnya itu ganteng, keren, tinggi,
seperti kriteria penulis. Sayangnya dia menjadi korban permainan imajinasi
penulis kejadian secara nyata.
“Wah mbaknya ini aku
jadi tontonan”. Timpal pelanggan sambil membersihkan bajunya yang basah sambil
nahan tawa campur malu.
“wuish…. Tenang mas….
Tidak usah malu denganku mas. Aku sudah biasa di malu-malu in. Aku tahu kalo
masnya tadi belum mandi to?. Aku lihat montornya itu juga belum di mandiin juga
to?. Aku juga jarang mandi kok mas seperti montornya. Soalnya aku mau mandi
takut nanti menjadi semakin manis. Susah jadi ora"ng terkenal mas”.
Penulis mencoba ngalawak. Hitung-hitung balas budi karena penulis sudah
menertawakan pelanggan habis-habisnya. Hehehehehe.
Penulis semakin lega
setelah melihat masnya mulai tertawa. (penulis tidak peduli dia tertawa karena
kelebaianku, ekspresiku, atau keanehanku. Entah tawa ilfill atau tawa memang
beneran lucu. Yang penting visi penulis, membuat orang itu tertawa).
“Jadi hari ini, di
tahun baru sebagai bonus, masnya di mandiin sama gelombang tsunami gadungan.
Itung-itung itu tadi gelombangnya baru magang di piyungan mas. Besok kalo sudah
profesional, gelombang tsunaminya pindah di Parangtritis sana”. Kilah Penulis mencoba
mencairkan suasana yang sudah cair. Bahkan luber banjir itu tadi opo?.
Hujan yang tidak reda
hari ini sangat memberikan refresh tersendiri bagi penulis. Ada sesuatu hal
yang seharian penulis benar-benar tertawa sampai tepar. Tepatnya setelah isyak tadi.
Genangan air hujan semakin membesar. Suasana toko sepi, kontras. Pekerjaan yang
harus di selesaikan segunung banyaknya. Ada 6 buku tebal yang harus di jilid
versi skripsi. Ples gunungan ketikan rumus yang segera deadline.
Kali ini penulis di
bantu oleh satu rekan saya bernama mas Ateng dan pemilik toko Mas Fembri.
Bertiga duduk berjejer seperti tokoh bersejarah 3 serangkai. 3 serangkai bukan
seperti dowes deker itu, atau 3 layar berkembang. Melainkan 3 manusia cucu Adam
duduk dan sibuk dengan buku yang dijilid masing-masing. Sedangkan di ruang
rental komputer tepatnya di timur ruang fotocopy ada pelanggan cewek sedang
sibuk dengan tugasnya.
Dalam kediaman dan
kekhusukkan 3 serangkai ini sedang berseni menjilid. Tiba-tiba si pelanggan
angkat bicara, seperti tukang mata-mata bajak laut yang keras dalam berbicara.
“Mas!!!!!… mas
fembri!!!”. Teriaknya
“Ngopo!!!!!” jawabnya
singkat, dan asyik meneruskan seni jilid kami.
“Mas… ada ular masuk ke
toko!!!!”. Teriak si pelanngga lagi
Seketika suasana yang
hening berubah menjadi pasar yang gaduh. Hujan yang turun kalem tiba-tiba ada
petir melengking meliuk-meliuk
“ha!!!!!!!!!!
Ular!!!!!! Mas…. Mana ularnya!!!! Lari!!!!!!” Teriak penulis lari cincing rokku
kemudian naik ke atas kursi yang pendek. Tidak puas memanjat kursi pendek, lari
ke ruang komputer naik kursi yang lebih tinggi.
Satu rekan dan pemilik
toko spontan juga ikut jempalitan lari ngacir sana-sini. Kursi, buku dan yang
ada di dekatnya jatuh berserakan. Mereka lari bukan karena takut ular, tetapi kaget
dengan teriakannku yang alai tersebut. Sedikit reda, emosi terkendali
terkontrol. Rekan saya mas Ateng dan pemilik toko Mas Fembri mulai beraksi.
Tengkurap ke lantai mengintip ular yang kata si pelanggan ngumet di bawah meja
kerja kami.
“Lha…. Itu teng!!!!”.
Seketika si Bos berdiri dan melompat. Ekspresi yang tidak kalah menarik dari
seorang ultramen 3 atau seorang sailermoon.
Begitupun mas Ateng.
Mas ateng juga ikut lari ngacir menghindari si ular.
“Theng?! Lha gimana e
kamu. Ularnya itu sudah kelihatan ayo di pukul pakai tongkatmu”. Sahut mas
Fembri gemes.
“Aku tidak berani. Kamu
saja mas”. Mas Ateng kembali menimpali.
Gaya khas pemilik toko
kami, kembali mengutarakan alibi,dan berbasa-basi
“Teng, gimana ya…
istriku itu sedang hamil teng. Kata jaman orang dulu itu kalo istrinya sedang
hamil di larang membunuh segala bentuk hewan e teng. Gimana teng. Cowok di sini
selain aku dan kamu siapa lagi teng???!!”
Penulis yang masih
temangkring di kursi tertinggi hanya menahan tertawa. Mungkin ular itupun juga
demikian. Ularnya malah hanya diam melihat mas ateng dan mas fembri yang tengah
berdebat.
Tiba-tiba.
“Hap!!!!!!!”. Ular
berjalan mendekati mas Ateng.
Seorang mas ateng
lelaki yang kalem dan lemah lembut itu dengan gaya khasnya, memukul ular yang
seharusnya menggeluarkan tenaga super tak taunya apa coba???.
Ular itu hanya di pukul
sekitar 3 kali kali, lebih tepatnya tiga ketukan seperti mengetuk pintu di
rumah orang coba!!!!??. Dari jauh penulis sudah ambil nafas panjang berharap
ketukan itu langsung mati tuh ular, tak taunya “Plekenyik!!!!!” yah…. Loyo aku.
Aku sudah membantu tarik nafas dan tegang dari atas temangkringan.
Jelas saja si ular
lari. Mas ateng mundur beberapa langkah dan mengeluarkan jurus gertakan yang
seolah-olah ingin memukul si ular lebih keras. Dan akirnya si ular ngumpet tak
tahu dimana. Berempat akhirnya mencari si ular. Mencari di sela-sela.. penulis
mengintip dari lubang yang ada di toko.
“Ular!!!!!! Ini
ularnya!!!!!”. Teriak penulis
Semua lari keberbagai
arah yang berlawanan, bukan mendekati penulis yang ketakutan, justru berlari
menjauhi penulis.
Suasana pun reda
kembali seiring redanya ekspresi spontan penulis. Ternyata yang penulis lihat
bukan tetapi kabel monitor. ular
Akhirnya ular itu
ditemukan berada di cela-cela pintu toko. Ular itu pada akhirnya mati dengan
cara di jepit. Bahasa gaul deso nya di “ogrok-ogrok”.
~The
end~
Cerita ini kisah nyata yang penulis
alami di tanggal 1 januari 2012
Semoga cerita ini membantu menyegarkan
pikiran anda yang sedang kalut oleh masalah
Semoga setelah membaca tulisan ini dapat
merefleksikan kembali
SALAM SEMANGAT dari Elisa.
HUJAN TAWA
Reviewed by elisa
on
Tuesday, January 03, 2012
Rating:
No comments: