Elegi Kehidupan
Terlukis mega senja kemerahan merekah di ufuk barat. Sketsa melukis Bayangan Tri. Hitam terpasung di belakangnya. Siluet yang sempurna. Perpaduan sinar keemasan dan hembusan angin yang sepoi-sepoi.
Tubuh kecil berdiri disamping Sepeda Jengki tua. Tersirat jelas dalam bola mata Tri. Sang mentari tenggelam di peraduan. Tri berdiri menyaksikan pergantian waktu di atas permadani yang usang di telan zaman.
Rumput ilalang tumbuh di sela-sela belukar, berayun searah. Bergesekan antara dahan satu ke dahan yang lain. Bunga-bunga berjatuhan, Melambai, menyemai rumput liar di antara padang ilalang. Menghamburkan serbuk bunga jantan ke betina. Mega pun kembali bergelayut, meninggalkan siang.
Angin merambat. Tri berjalan, menyusuri tanah tandus. Keringat berjatuhan menjamah kekosongan hati. Di persimpangan jalan beraspal, Tri termenung. Angin menerpa tubuhnya yang kurus. Jilbab melambai-lambai, seperti sang saka merah putih yang nampak gagah di atas tiang.
Tri terbelalak. Hatinya berdesir. Bulu kuduknya merinding. Kepalanya seperti disetrum tengangan listrik tinggi. Di sebrang jalan, ketika melihat nenek tua berjalan tanpa alas kaki. Sempoyongan dengan mengendong kayu bakar di punggung.
Telapak Kakinya keras dan pecah-pecah. Setiap hari di panggang oleh panas fatamorgana, ia lenyap jika di hampiri, Hilang. Entah kemana. Sering kali Angin berhembus mengeringkan baju yang basah bersimbah keringat di tubuh paruh baya itu.
Nenek itu terus berjalan. Jika hujan melanda, beliau berteduh di emperan rumah yang berada di sepanjang jalan yang di laluinya, tak peduli itu rumah orang. Rambut yang beruban basah kuyub. Tubuhnya mengigil. Jika panas melanda, beliau tetap berjalan tanpa alas kaki sepanjang jalan beraspal. Kakiknya bengkak di gerogoti cacing-cacing beraspal.
Tepat di pinggir jembatan, tidak jauh dengan persimpangan tempat tri mematung. Nenek itu perlahan menurunkan bongkokan kayu bakar, di taruh tidak jauh darinya. Tas yang di jinjingnya dibuka dan diambillah teh yang dimasukkan kedalam botol bekas. Perlahan teh itu di teguk dengan nikmat. Sementara kendaraan meraung-raung di dekatnya, mengeluarkan kentut busuk yang membahayakan, menganggu sel-sel syaraf pernafasan. Sungguh memuakkan!.
Setiap senja, di pinggir Sungai kotor itu, nenek selalu istirahat. Kembali berjalan ketika hari mulai gelap, beliau berjalan menuju sebuah surau tua dan rapuh tidak jauh dari Bantaran Sungai juga.
Senja terlelap, terjaga dalam peristirahatan. Surau Tua yang dulu di datangi banyak anak-anak kecil mengaji dan dipenuhi jamaah, kini senyap. Dulu selepas mahrib, anak-anak mengaji di surau bersama-sama. Sekarang selepas mahrib menonton TV.
Sekarang sudah berganti zaman, mereka sudah dewasa─pewarna surau ketika mereka masih kecil, kini pergi tak pernah datang lagi meramaikan surau. Setidaknya mereka memberikan kenangan terindah untuk kampung yang sekarang menjelma menjadi lenggang─Entah jadi apa sekarang mereka. Ada beberapa menjadi TKI di negara sebelah. Merasa cukup dengan bekal agama. Mereka tidak sadar degradasi telah mengerogoti keimanannya secara perlahan-lahan tanpa di sadarai.
***
Surau sederhana. Di depan surau ada taman. Berbagai jenis tumbuhan bungga ada di sana. Ada mawar, melati, anggrek. Di tenggah halaman surau ada kolam ikan koi, kemudian di sekelilingnya di tanami rumput manila.
Tidak jauh kita melangkah ke barat, surau tua itu bertengger. Surau yang sederhana. Hanya bertembok kayu jati tua puluhan tahun yang lalu. Sedangkan gentingnya genting yang mudah pecah dan bocor bila hujan. Sekelompok anak berlarian di depan musola setiap sore. Mereka tertawa dan menguling-guling di hamparan rumput itu.
Mereka akan berlari dan masuk ke dalam surau ketika guru ngaji datang. Seringkali suara bocah menangis karena berebut tempat duduk. Berebut urutan pertama dalam mengaji. Guru ngajinya muda-mudi kampung jatimulyo menghampiri dan jongkok mengusap air mata dan membujuk agar tidak menangis lagi.
Jika senja mulai merekah memerah di barat sana. Maka pengajian usai. Anak-anak meninggalkan surau. Mereka berlari. Saling kejar-kejaran, pulang mengambil mukena atau kopiah dan sajadah. Kemudian berkumpul lagi jika kumandang mahrib datang.
Kini Surau sepi, tawa, tangisan anak-anak benar-benar sepi. Setiap tiba waktu sholat, jamaah selalu penuh. Sekarang hanya tersisa beberapa saja. Hanya Dua pemuda Kampung Jatimulyo yang masih tertinggal, selalu absen datang, mengumandangkan Adzan dengan merdu. Dia adalah Fahri dan Mahmud.
Mereka berbeda dengan teman-teman seangkatan ngajinya dulu. Anak bertubuh ceking ini memilih bekerja di negeri sendiri. Ia tidak tergiur dengan gaji banyak sebagai perantauan. Mereka bekerja menjadi serabutan, dan membantu kedua orang tua memanen padi atau sekedar mencangkul sawah.
Hanya dia pemuda yang tersisa. Setiap waktu sholat tiba, mereka selalu datang, sedangkan untuk jamah putri hanya Mbah Wiji, kadang ada Elis yang rumahnya juga tidak jauh dari surau. Setiap dua minggu sekali, Fahri dan Mahmud membersihkan surau. Mengepel dan memcuci tikar di sungai. Mereka lakukan hanya berdua.
Keramaian dan jerit riuh teman-teman saat bersama-sama membersihkan surau, serta suara loncatan anak-anak dari tepian sungai yang terjun, kemudian berenang dengan berbagai gaya. Mereka memposisikan terbang di atas awan, terbang kian kemari.
Menganggangu pemuda-pemudi yang tengah mencuci tikar di sungai dengan mencipratkan air ke arah mereka. Keramaian itu hanya kenangan. Sebuah kenangan yang tidak sempat di bingkai dengan pigura yang menawan, kemudian di tempelkan di mading Kampung. Berharap mereka ingat arti kebersamaan dulu. Sebuah kenangan yang tidak terkira harganya.
Berbagai cara dilakukan. Mulai dengan membuka madrasah di surau. Hari pertama memang ramai, anak-anak berdatangan. Kebersamaan yang di impikan kembali memenuhi surau. Selama 3 hari, surau sudah tidak ada murid yang mengaji.
Setiap malam senin dan Jumat, tepatnya sehabis Mahrib. Fahri dan Mahmud menunggu adik-adik datang. Mereka diam di halaman masjid. Sepuluh menit, tiga puluh menit, hingga datang waktu Isak. Anak-anak tidak datang mengaji.
Mereka saling memandang, Mahmud hanya mengangkat bahu. Fahri yang masih duduk di bangku SMA kelas tiga ini hanya mengelengkan kepala. Di pandang dari pertigaan, anak kecil menaiki sepeda. Berharap dialah santri yang akan mendatangi surau untuk mengaji. Sayang, anak kecil yang bernama rifki hanya melintas saja.
Mahmud berdiri. Di lepaslah songkoknya, kemudian di pakainya lagi.
”Aku adzan Isak dulu”. Katanya.
Fahri hanya menganggukkan kepala. Ia masih duduk di serambi surau. Matanya jauh menerawang gugusan bintang yang berarakan. Angin melambaikan bunga-bunga di depan surau yang selalu nampak bersih. Mungkin hati mereka berdua nanar, ada ketakutan dan kekhawatiran.
“Allahuakbar.... allahuakbar.....”
Fahri berdiri, pergi ke samping surau mengambil air wudhu. Di lihatlah Mbah Wiji berjalan terdunuk-dunuk menuju keran. Wajah beliau basuh. Bergetar hati Fahri ketika melihat Mbah Wiji menekuk setiap inci kulit keriputnya.
“Suatu hari aku akan seperti itu. Rambut beruban, wajah beringsutan, jalannya pun terseok-seok”. Batin Fahri.
***
Perjumpaan Tri dengan Mbah Wiji setidaknya menambah satu Anggota yang hadir di surau untuk ikut berjamaah. Belum lama Tri baru mengetahui nama nenek itu bernama Mbah Wiji. Sebulumnya Tri melihat Mbah Wiji berkali-kali sepulang bekerja di sepanjang jalan yang dilewati tri juga. Beliau Mengangkat kayu bakar di punggungnya.
Pernah saat Terik menyeringai, Tri mencoba menawarkan bantuan kepada mbah Wiji. Mbah hanya tersenyum, kemudian permisi meninggalkan tri. Terus saja berjalan ke selatan, tidak mempedulikan i’tikad baik Tri. Tri memandangnya hingga lambat laun menghilang dalam tatapan.
Tri menerawang setiap jengkal yang ada pada Mbah Wiji. Kantung matanya jelas menyimpan sejuta rahasia kehidupan yang tidak banyak di pahami banyak orang. Punggungnya membungkuk, dan terseok-seok, Tulang pipi yang keriput beringsutan mengabarkan perjalanannya tak kan lama lagi.
Nenek tua bertapihkan jarik lurik kusam bermotif Dara Kembang yang memudar masih saja dipakainya. Mbah Wiji sebatang kara. Tidak ada yang dapat di banggakan dalam dirinya, kecuali dulu pernah mempunyai suami yang amat menyayanginya. Dalam jiwannya sudah tidak dipenuhi oleh nafsu, ambisi yang mengebu-gebu. Yang diharapkan dari perjalanan hidupnya hanya bekal pulang semata. Karena alasan semua itulah, tri penasaran dengan sosok Mbah Wiji. Bila banyak waktu, Tri bertandang kerumahnya. Bercengkrama dan tertawa.
***
Tri kembali menyebrangi jalan hendak pulang kerumah. lagi-lagi hatinya bergelayut. Matanya menatap ke depan, menyaksikan Gunung menjulang jauh di sana, sebagai pembatas lautan dan daratan. Sepeda jengki berbunyi beringsutan tidak beraturan, mengisyaratkan kepada tuannya bahwa beberapa engsel sepeda ingin di ganti. Tapi pemilik sepeda tidak mempedulikannya. Otaknya bergelut dengan hati nurani. Entah kenapa kata-kata mbah wiji tadi menggangu pikiran Tri.
***
Subuh berkumandang. Tri bergegas ke mushola yang tidak jauh dari rumahnya. Sebuah mushola megah, jauh lebih bagus jika dibandingkan dengan surau dekat mbah Wiji. Dingin mencakar ke sum-sum tulang. Ayam berkokok memenuhi teritorial. Kokok ayam sahut bersahutan. Angin berdesis, dingin, menghunjam hingga ke ulu hati.
Dedaunan beterbangan. Kelelawar melintas, menungkik ke samping, kemudian membumbung ke atas, saling mengepakkan sayap dan bercericit. Semua berpadu menjadi satu. Setiap subuh, tri menyaksikan panorama melodi subuh itu. langkah kakinya terhenti melihat ke Timur. Pelan tapi pasti. Kuning keemasan semakin merekah laksana segerombolan bidadari memakai gaun merah dalam acara pesta.
Bajunya berjuntai-juntai. Semakin berkilauan saat payet yang tertata apik di gaun itu tersorot lampu. Beberapa potongan kain yang memanjang tipis dan transparan menghiasi gaun di bagian paling luar. Potongan itu terbagi menjadi beberapa bagian, dan bagian luar gaun itu terbang terhempas angin. Yah... semacam itu.
Mukena Tri masih dikenakan, di tangan kanannya mendekap sajadah dan bawahan mukena. Sorot sang mentari hendak bertengger. Nampak sinar keemasan semburat di balik bukit langgeran. Bebintang satu persatu menghilang. Mentari ingin menunjukkan kepada bedebah bumi yang angkuh bahwa mereka bukanlah apa-apa.
Kokok ayam tak terdengar lagi, hanya anak ayam dan indukan keluar dari kandang. Bulu lembut dan tubuh munggil itu meloncat, berlari kian kemari. Sementara puluhan burung pipit dari pohon beringin dekat SD tua terbang, berlabuh ke daun mahoni di belakang rumah Tri.
Langkah Tri di ayunkan menuju Gubuk renta. Sebuah rumah kecil yang dihuni tiga orang. Cagak rumahnya bukan dari beton atau besi melainkan dari kayu lapuk. Gentingnya sisa reruntuhan gempa dari rumah tetangga yang di berikan Cuma-Cuma. Jika siang tiba, panas pun tak bisa terkatakan. Begitu juga bila hujan. Tidak jauh berbeda dengan rumah Mbah Wiji.
Tidak jauh berbeda antara Tri dan Mbah Wiji. Tri adalah pelajar SMK yang hampir putus sekolah. Ia harus berjuang mendapatkan peringkat agar tetap bisa sekolah. Jika sekolah telah usai, dimana terik tepat di atas kepala, sinarnya yang menyeringai. Tri mengayuh sepeda. Ia bekerja, pulang larut sore.
Di rumah ia harus memasak, mencuci dan mengerjakan pekerjaan rumah. Ia sadar betul, dirinya tidak mempunyai sesuatu yang di banggakan. Dirinya tidak ada waktu untuk membanggakan kelebihannya kepada teman-temannya. Tri tidak sempat memikirkan gengsi. Di rumahnya yang nyaris itu, ia masih harus memikirkan adiknya yang masih SD kelas 3, dan Ibunda tercinta yang sakit Leukimia.
Tidak hanya tri, masih banyak generasi muda yang terancam putus sekolah. Kehebatan mereka bukan karena prestasi secara akademik semata. Sebuah kehebatan luar biasa yang mampu bertahan dan berjuang demi menggenyam pendidikan. Di dada mereka ada semangat yang mengelora. Ketakutan dan masalah yang mendera tidak membuat berkecil hati. Mereka adalah cikal bakal pahlawan bangsa di tengah modernisasi. Setiap derap langkahnya menginspirasi. Ia rela meneguk pahitnya hidup di tengah peradaban dan modernisasi yang serba wah.....
Dialah generasi yang di cari-cari selama ini. Pendirian dan agama yang kuat. Meski puluhan jarum mencoba meracuni setiap jengkal selaput otaknya tidak mempan. Karena setiap inci sel otaknya telah diisi oleh antivirus yang dasyat, lebih dasyat dari apapun. Antivirus yang akan diberikan kepada orang-orang yang mau berfikir tentang apa-apa yang ada di bumi dan di langit serta seisinya. Sebuah akidah, sebuah Keimanan, sebuah keikhlasan, semangat, serta pendirian.
Karena itulah yang hanya di miliki mereka. Mereka tidak punya apa-apa yang di banggakan. Mereka hanya diamanahkan Allah menjadi orang biasa, tetapi peranan mereka luar biasa. Mereka hadir dalam bentuk subsistem yang mampu menghapus kehausan.
***
Matahari mulai hangat terasa. Embun dan kabut subuh tadi samar menghilang. Sekawanan burung kuntul datang memenuhi hamparan sawah. Warna putih, leher panjang terbang beriringan. Berakrobat di awan lepas. Membentuk beberapa formasi huruf. Sungguh luar biasa. Sekawanan kuntul diam mematung di pematang sawah berbaris-baris ketika kenyang. Kemudian terbang berhamburan seperti salju, menembus awan yang membiru.
Beberapa kawanan yang tidak di kenal turun dari mobil bok. Menurunkan cangkul, pemukul dan beberapa alat bangunan. Langkah mereka pasti. Satu persatu gawang jendela dan pintu surau tua di lepas, kemudian dilempar jauh. Tri yang hendak ke sekolah melihat penggusuran surau itu.
Tri tau betul sejarah surau, setiap kali tri diceritakan Mbah Wiji, Tri Merinding. Pagi-pagi seperti ini mbah Wiji mencari kayu bakar. Tri berlari menghampiri sekawanan pemuda. Matannya bercucuran peluh. Wajahnya cemas, di iringi ketakutan yang mendalam.
Tri berkali-kali menghalau penggusuran. Berkali-kali itu juga Tri tersungkur. Tangan-tangan pemuda itu dengan seenaknaknya menghempaskan tubuh seorang pemudi yang berjuang mempertahankan surau. Saat tak ada satu pun orang datang di surau tua,Tri datang datang dan bersujud, melafalkan nama-nama agung hanya khusus untuk Sang Tuhan.
Dari pihak Pak Harjo kekeh dengan pernyataannya, bahwa tanah yang didirikan surau ini adalah tanah milik Pak Harjo. Begitu juga dengan Tri, karena Tri pernah membaca surat wasiat dan surat tanah itu dengan mata kepalanya sendiri di balik map kumal yang di simpan mbah Wiji.
Sekawanan pemuda tidak mempedulikan perkataan Tri anak ingusan. Mereka Kembali menyungkurkan Tri hingga terpelanting. Gadis itu mengiba dan mengaduh. Kemudian mencoba berdiri lagi dan berjalan menghalangi mereka. Sayang sekali, tubuhnya terlalu kecil untuk menyungkurkan bodigat-bodigat itu.
Mahmud berhenti dan berlari melihat keramaian di sana. Di sudut kanan bangunan mushola, Tri tidak sadarkan diri. Tengkuk lututnya berdarah, ada beberapa luka di keningnya, jilbabnya kotor bergulat tanah. Mahmud segera membopongnya kedalam rumah mbah wiji. Mas Mahmud berlari mencari pertolongan Warga.
Tidak lama, hanya selang sepuluh menit. Sejumlah warga menuju ke surau. Meski sudah lama ia tidak datang ke surau tua itu, ia masih peduli. Mereka datang ke surau, menyelamatkan surau yang dulu telah membesarkan mereka.
Kedua belah saling bertatapan. Semakin memanas ketika dari pihak Pak Harjo melempar pecahan genting ke arah penduduk kampung. Mereka saling melempar dan saling memukul satu sama lain. Tidak sedikit dari mereka yang mengalami luka serius. Darah menetes di depan surau.
Tri tak berkutik dan Mahmud kehabisan cara untuk melerai mereka. Fahri berlari kecil masuk kerumah mbah Wiji. Mengambil panci yang penuh hangus. Di oleskan di kening dan di kedua pipinya, persis seperti serdadu yang kocar-kacir di kejar anjing.
Di dekat pintu, batu intem di ambilnya. Fahri berlari dengan dada membusung. Panci itu di pukulnya hingga peyok. Mereka yang berselisih berhenti. Menatap Fahri sinis.
”Hai anak muda, apa yang kamu lakukan. Gila ya kau. Sekarang sudah tidak ada penjajahan di sini. Kenapa wajahmu seperti orang gila?”. Tanya pak Broto sengit.
Fahri menghampiri pak Broto. Sejurus kemudian, ketegangan memuncak. Andrenalin berpacu.
”Ha....Ha....Ha..... Akulah Pahlawan Bertopeng Jagalah perdamaian, mari kita selesaikan secara kekeluargaan”.
Fahri mengangkat panci di tangan kanannya yang penuh hangus itu ke atas, tangan kiri yang mengenggap batu item itu ada di dadanya. Teriaknya di pintu depan surau. Sejurus, panci dan batunya di taruh. Lagi-lagi Fahri membuat sesuatu hal yang tidak masuk akal.
”Jagalah hati, jangan kau kotori, jagalah hati lentara hidup ini...” Berkali-kali Fahli nyanyikan lagu Aa gym dengan gerakan yang sama dengan vidio klipnya.
Kondisi yang tegang itu sedikit mereda. Bukan karena perdamaian. Tapi karena tingkah yang tidak wajar dari Fahri. Memang di otaknya di penuhi ide-ide gila. Anak seangkatan dengan Tri ini tidak gila. Ini hanya trik saja. Memang pada dasarnya Fahri memberikan kesan misterius. Banyak orang mengatakan aneh. Di sisi lain, dia sendiri merasa wajar-wajar saja. Baginya, asal masih berada di koridor agama yang benar.
”Bagaimana tawaran saya”. Katannya berlagak lagi.
Angin berhembus. Ada hawa tidak enak yang meniupkan di hati Fahri. Ada mata kucing yang siap menyeringai, siap melahabnya. Sedangkan dari pihak Pak Harjo Tidak ada reaksi. Mereka diam. Saling berpandangan, beberapa mengelengkan kepala memberikan isyarat.
”Kami tidak Butuh perdamaian. Bodoh!”. Kata Pak broto sambil melemparkan kaleng ke arah Fahri. Pak Broto melaju ke arah surau. Mulai mengambil parang. Warga merasa tidak di hormati. Mereka kembali berperang.
”Berhenti!!”. Kata Mas Mahmud datang. Kali ini Mas Mahmud datang benar-benar sebagai Pahlawan Revolusi yang gagah, kharismati, cakep ahlak dan wajahnya.
Pertarungan berhenti. Mereka terlihat seperti robot yang di perintah dengan mudah.
”Kami hanya di perintah untuk merobohkan surau ini. Kami tidak mempunyai urusan dengan kalian-kalian semua. Masalah kalian ada pada pak Harjo. Datang dan temuilah ia. Saya hanya melaksanakan perintahnya saja”. Bentaknya kepada Warga.
Minggu Pagi itu. Mbah Wiji yang baru pulang terkaget-kaget. Surau itu kini telah porak poranda sebagian. Di samping rumahnya ada Mobil Avansa berhenti. Tubuh Gagah turun dari mobil. Mbah Wiji mengamati sosok orang yang turun dari mobil.
Mbah Wiji Terbelalak luar biasa. antara percaya dan tidak.
”Oalah... akhirnya kamu pulang. Ibu dan Bapak mencarimu dimana-mana”. Mbah Wiji berlari menghampiri Pak Harjo yang hendak masuk ke rumah Mbah Wiji.
Pak Harjo menghindar ketika seorang ibu ingin memeluk seorang anak yang telah lama di cari-carinya (walau Ia hanya Ibu Tiri).
“Aku datang ingin mengambil tanah bagian ku!”. Bentaknya
”Sebentar!”. Mbah Wiji masuk ke dalam kamar, mengambil berkas-berkas di dalam map kusam.
”Ini Titipan dari bapakmu untuk mu”. Di perlihatkanlah jatah warisan Pak Harjo.
”Saya tidak terima jatah Tanah saya segini. Tanah surau ini juga hak saya”.
”Tapi tanah Surau ini sudah di Wakafkan oleh Bapakmu jo. Ini amanah ibu yang diberikan bapakmu”.
Tri terbangun dari pingsannya. Ia hanya diam melihat Pak Hari, yang ternyata dulu bernama Pak Harjo. Keduanya terpana tak percaya. Tri hanya menundukkan kepala menahan tangis, sakit hati dan kecewa.
”Kenapa kau di sini. Pulang sana”. Ujar Pak Harjo.
“Untuk kali ini Tri tidak akan menurut dengan bapak. Tri tidak akan membiarkan surau ini di rampas oleh bapak, seperti halnya telah merampas kebahagiaanku dengan Adik dan Ibu. Pak Insyaf. Harta bukan tujuan pak!”.
Mbah Wiji, Fahri dan Mahmud tersekat kata. Mereka saling berpandangan.
Sejurus kemudian, Pak Harjo pergi meninggalkan gubuk Mbah Wiji. Sekawanan pembongkar Surau pun juga pergi begitu saja. Kini surau itu perlahan-lahan tapi pasti banyak di datangi anak-anak untuk mengaji.
Para orang tua menyadari sesuatu hal itu di mulai dari orang tua memberikan teladan yang baik untuk putra-putrinya. Dimana mereka tidak lagi menghidupkan TV di waktu mahrib dan di waktu sholat lima waktu. Surau yang sepi kini kembali ramai. Yang lebih membahagikan ketika Tri mengetahui Bahwa Mbah Wiji adalah neneknya tirinya.
Pucuk-pucuk pinus kini saling berebut. Jika malam halimun di pucuk pinus meliuk-liuk memanjakan mata di hamparan rumput ilalang. Kehidupan memang terlihat datar, tetapi tidak pada kenyataannya. Kehidupan itu bias, berkelok dan menanjak. Sekuat tenaga kita mendaki terjal berduri itu, sepanjang itu pula kita harus mempu memetik pelajaran. (Elisa)
Juara 1 tingkat Provinsi yang di selenggarakan oleh UMY.
Elegi Kehidupan
Reviewed by elisa
on
Tuesday, June 22, 2010
Rating:
No comments: