PESAN TEPIAN PANTAI
Gemuruh terdengar di bibir pantai. Seorang pemuda berdiri menghadap ke Barat. Di kiri akan terlihat gunung menjulang dan menjorok ke laut. Setau Soni batu itu sudah aja semenjak nenek dari neneknya lahir. Batu di tepi pantai itu puluhan tahun selalu di hantam debur ombak. Namun, tetap saja tidak menampakkan kerapuhannya. Dulu dan sekarang masih tetap sama saja, tetap berdiri kokoh walau badai kerap menerjang.
***
Mbah bejo tidur diatas pasir. Tepatnya masih di dalam warung mbok Dharmi, beliau Melihat langit-langit warung Mbok Darmi. Langit-langit yang nampak memprihatinkan. Cagak dari sebatang bambu lapuk yang menopang atap warung. Meskipun berkali-kali angin menerjang warung Mbok Dharmi, tetap saja Warung itu berdiri.
Mbah bejo tak menghiraukan hal-hal seperti itu, beliau kembali menghisap sebatang rokok hasil gulungannya. Sedangkan Sony, pemuda S1 itu hanya menatap heran mbah Bejo.
“Lalu mbah… selanjudnya akan kita apakan ini?”. Tanya Soni. Di raihnya es kelapa muda di meja Mbok Darmi, penjual di sekitar pantai parangtritis.
Mbah Bejo masih asik dengan sebatang rokok yang tinggal 10 cm itu. Bermain-main dengan asap rokok.
***
Angin berhembus kencang. Ombak memecah kesepian. Anak-anak berlari dengan teriakan girang. Semua berpadu menjadi satu. Mbah bejo tetap diam dalam baringannya. Mendengarkan orkestra alam laut. Hal-hal seperti inilah yang membuat batinya tersulut Sengit, membuat gereget hatinya yang semakin sekarat akan maut.
Soni menatap awan yang berarakan. Membentuk asa-asa pengharapan yang selama ini tidak terkabulkan. Lepas pandang, di lihatlah lautan dan langit seakan menyatu. Seolah-olah raga ini berada di tengah lautan yang kian tenggelam. Semakin di pandang di tepi pantai, hamparan samudra itu semakin memberikan kesan arti yang luar biasa.
Pandangan soni beralih kepada mbah bejo lagi.
“Bagaimana dengan rencana awal saja mbah?”. Usul soni
Kakek berbaju lusuh itu hanya tersenyum sinis, “Son!!. Kamu lupa, kita harus berurusan dengan siapa jika benar melakukan rencana itu?!”.
Sony diam tanpa kata. Entah kenapa soni kembali membuang pandangannya menuju sepasang kekasih yang tengah duduk di tepi pantai. Sepasang kekasih duduk berdampingan. Jilbab pemudi itu melambai, dan Topi pemuda itu seakan terbang. Mungkin mereka akan melabuhkan perjalanannya di pantai parangtritis karena tidak di restui orang tua mereka.
“Glek!!”. Seteguk kelapa muda di meja di minum Soni lagi.
“Mbah lihat. Kekhawatiran kita selama ini suatu saat bisa terjadi. Aku semakin khawatir”. Kata soni lagi sambil memandang pengunjung pantai yang berpacaran.
“Benar kamu son. Kau pemuda yang pintar menganalisa. Andai semua pemuda bantul berfikiran seperti kamu. Masalahnya sekarang bukan hanya fungsi pantai ini, tetapi masih ada masalah yang lebih pelik lagi”. Jelas Mbah Bejo
***
Seperti Haina yang tengah berjalan pelan di tengah rimba. Sungguh penyajian perilaku yang tenang. Lain lagi ketika para singa mengejarnya. Setiap kali terdesak oleh lawan, haina berlari dan terus berlari hingga lawanya kelelahan. Itu dunia hewan berdarah dingin yang tak kenal lelah. Beda dengan dunia alam. Dunia yang indah, menyuguhkan Bianglala dan panorama Luar biasa. Perpaduan yang mempesona.
Laut membentang. Memisahkan dari pulau ke pulau. Bumi, tempat perpijakan mahluk tuhan. Siang dan malam tak luput dari perhitungan Tuhan, sungguh kekuasaan Tuhan yang maha Luar Biasa. Semua tersaji jauh sebelum kita tercipta, semua tertata rapi secara sistematis. Akal manusia tidak ada satu pun yang mampu memperhitungkan semua alam ini.
Semua itu akan hancur adanya kelalaian yang berkali-berkali oleh manusia. Semua terjadi tanpa adanya kesadaran. Ketika alam ingin menyampaikan kemurkaanya, maka dengan santun alam memperingatkan mahluk tuhan dengan caranya juga. Lain dengan manusia. Sengaja merusak dengan alibi yang begitu sistematis bagi manusia, tetapi hal sepele bagi Tuhan untuk mengumbar sistem yang telah kita tata rapi.
Tuhan tidak mempunyai ambisi, lain dengan manusia. Alam diciptakan indah agar manusia mensyukuri, menjaga dan mengagungkan sang pencipta. Tetapi bagi sebagian orang sudah tidak seperti itu. Untuk mencapai sebuah ambisi dan kesenangan, banyak alasan untuk keluar dari rel yang benar. Semakin tua bumi ini, semakin banyak kesalahan sistem yang tertanam di pikiran kita. Seperti itulah masalah terbesar yang di hadapi Soni dan Mbah Bejo.
***
Malam datang tidak sekedar mampir istirahat. Meskipun beberapa orang menganggap malam adalah syurga bagi beberapa mahluk tuhan yang mampu membaca bintang gemintang. Adapula orang-orang yang mengutuki malam. Sedangkan generasi muda yang belum mengerti hitam dan putih terjaga dalam tidur, bermimpi bertemu bidadari.
Bulan sabit yang terpancar, dan gugusan bintang terhampar luas. Ketika angin melambaikan di permukaan laut. Ombak menepis di bibir pantai. Beberapa kali burung malam melintas dan mengeok. Mengepakkan sayap di atas samudra yang tak bermuara. Berbelok, menungkik, kemudian terbang menjulang ke bulan dan bintang. Angin kembali berhembus membelai rambut soni yang tengah berdiri di tepi pantai menyaksikan atraksi itu semua.
Bukanlah hal yang mudah bagi soni melakukan perubahan di kawasan wisata ini.
***
Bias sang surya beranjak berpijar, menerangi lembah-lembah berduri. Terdengar jelas suara puluhan truk yang merapat di gunung pasir dekat pantai. Soni terbangun dari tidurnya. Jelas terlihat dari balik jendela rumahnya pemandangan itu. Puluhan pekerja mengambil pasir ke dalam truk mereka. Ketika sang fajar benar-benar mengusir sang malam, puluhan pekerja itu pergi menjauhi gunungan pasir.
Sinar sang pagi telah menjilati ladang petang. Mengantarkan Mbah Bejo keluar dari kamar.
“Wahai cucu-cucuku. Sekarang engkau tidak merasakan tua seperti aku. Kau belum mengenal penyesalan. Jika telah tiba waktunya, kau akan mengatakan hal yang sama seperti aku sekarang”. Gumam Mbah bejo ketika melihat beberapa pasangan yang pagi-pagi buta sudah berada di pantai.
Langkahnya tertatih. Gerak langkahnya sesekali batuk berat. Tapi pagi itu membuat mbah Bejo geregetan dengan daerah wisatanya.
“Andai aku masih muda, aku gunakan mudaku dulu untuk hal-hal yang membuat tuaku lebih baik”. Umpat mbah bejo dalam hatinya ketika sepasang pemuda itu.
Soni melihat mbah bejo berjalan tertatih menujunya. Segera di jemput kakek renta itu. Kemudian keempat mata bertemu, Kata hatinya juga telah menyatu. Maka ultimatum ketiga akan segera digencarkan.
***
Keesokan harinya kedua pejuang itu mengadakan rapat desa. Di sana di hadiri lima pengelola pantai parangtritis dan depok. Mereka bermusyawarah. Beberapa peserta dari kampung tidak tau tujuan utama dari musyawarah ini. Lain dengan kelima pengelola pantai parangtritis. Mereka telah mengetahui tujuan adanya musyawarah ini.
“Sebelumnya, saya ucapkan terimakasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya. saya berbicara di sini bukan karena saya kuasai. Saya hanya mengusulkan beberapa usulan tentang tempat pariwisata yang berada di kampung kita. Di antaranya masalah penarikan uang parkir serta masalah gunung pasir yang diangkut segerombolan orang setiap malam”. Soni menatap dari mata kemata warga yang hadir dalam musyawarah ini.
Beberapa penduduk tersentak mendengar pernyataan itu. Sedangkan dipihak lain Ada sinar merah padam di wajah kelima pengelola wisata. Terutama satu orang yang berasal dari australia, tak lain adalah pemegang saham terbesar pantai parangtritis. Mbah Bejo sudah lama membaca gelagat tidak beres di wajah penduduk baru dari australia satu tahun yang lalu ini.
“Bagaimana bapak, mungkin dari pihak pengelola wisata ada masukan atau jawaban dari pertanyaan tadi?”. Tanya Soni
Satu diantara pengelola wisata menjawab pertanyaan soni dengan jawaban terbata-bata.
***
Hari berganti. Gemuruh ombak saling bersahut-sahutan. Gulungan ombak pecah di pesisir. Awan berarakan dan kicauan burung melengking di ruang lepas. Siang yang mampu mendidihkan otak telah di hantam angin yang mencairkan suasana amarah.
Semua warga tercenggang dengan stetment siang itu. Persendian yang lancar tiba-tiba terjerat oleh batas aturan. Kekecewaan membuncah. Tiupan angin yang hebat tersungkur oleh amarah. Sekarang waktunya menyibak alibi yang sengaja di tutup rapat oleh halimun.
***
Badai di tengah lautan tiba-tiba datang di hari yang cerah ceria. Derap langkah, berirama mendekati pintu rumah soni. Tetangga berhamburan keluar melihat segrombolan lelaki bertubuh tegap dan berwajah tampan. Tetangga saling berbisik satu sama lain.
“Soni………!”. Tangis Mak Iyah ketika soni di brondong oleh sekawanan polisi.
Beberapa polisi itu akhirnya menaikkan Soni dengan paksa ke atas mobil dinas. Mendengar kabar itu, mbah Bejo tetap tenang. Sama seperti soni ketika polisi diringkus di rumahnya.
“Biarlah… Kebenaran segera di tegakkan”. Kata mbah Bejo dengan senyum misterius ala lelaki tua yang mencoba menepis kegelisahan.
***
Di persimpangan, tepatnya di gang pemukiman warga. Pak Heru, Pengelola wisata itu datang ke rumah mbah bejo. Langkahnya gontai, tubuhnya dingin, wajahnya khawatir akan sesuatu.
Sepucuk buntung rokok yang kecil dihisap mbah bejo dalam-dalam. Kemudian di sebulkan ke langit-langit. Putih asap rokok pun merambat meraih awan putih nun jauh di atas sana.
“O…. Heru. Duduk sini”. Kata mbah Bejo mencoba mencairkan suasana sarat politisasi.
Pak Heru menghampirinya juga. Duduk di samping Mbah bejo dengan kekuk. Sontak di lepas kancing kemejanya. Kemudian di ambil amplop coklat yang sengaja di sembunyikan di dalam bajunya. Sejurus beliau pamit undur diri kepada mbah Bejo.
“Ru!. Tunggu. Apa maksudmu ini aku tidak mengerti?!”. Triak Mbah bejo ketika Pak Heru berjalan setengah berlari menjauhi mbah bejo.
“Apa maksud dari amplop ini”. Batin Mbah Bejo ketika membuka lembaran-lembaran bukti.
Ketika mengetahui isi amplop itu, mbah Bejo merasakan bumi serasa terjungkir balik. Siang seolah gelap gulita. Permadani kebenaran ternyata telah banyak di tutup oleh permadani yang usang. Seakan-akan kebenaran tidak ada tempat lagi. Sehingga yang berjaya adalah kebatilan yang harus di musnahkan.
***
Seperti hari-hari yang lalu. Siang tetaplah siang, malam tetaplah malam. Semua itu berputar tanpa ada perubahan. Mbok Iyah masih menangisi anak lelaki satu-satunya. Katanya dua hari Soni selalu di desak polisi untuk mengaku tindak Penyelewengan Anggaran. Wajahnya memar, tubuhnya juga lunglai tak berdaya. Beberapa kali pingsan karena pukulan. Mendengar itu semua, mbah Bejo datang ke Prodeo menjenguk Soni.
Beberapa kali kakek tua itu di usir oleh polisi. Tetapi kegigihan kakek gundul itu akhirnya di izinkan masuk. Itu pun karena ada polisi dari kantor lain yang berkunjung ke polres, yang kebetulan mengenal mbah bejo. Nama pemuda itu adalah Burhan.
“Nak, Bertahanlah. Aku datang untukmu”. Bisik mbah Bejo
Langkah Mbah Bejo cepat, ingin sekali melihat kondisi soni. Pemuda yang kukuh dengan kebenaran.
Di lihatlah Soni dengan wajah memar dan lemas tak berdaya. Mbah bejo tak mampu melakukan sesuatu untuk menyembuhkan lukanya.
“Soni!?. Benarkah itu kau. Kawan karibku di SMA Dulu?”. Burhan terhentak tak percaya
***
Lembaran hitam di hapus dengan perlahan. Tanah kering kini tersirami oleh hujan. Kodok berlombat, bernyanyi. Daun-daun memancarkan hijau muda. Petani tersenyum dan mengucap syukur atas nikmat hujan kali ini.
Pagi ini di depan rumah kontrakan pemegang saham terbesar Mr. Film akhirnya di grebek warga kampung. Meski semalaman hujan deras, altar rumah Mr. Film kering. Karena sepanjang rumahnya ditanami plafon beratapkan plastink.
“Ayo kita hajar saja. Perlu pelajaran biar kapok!!”. Maki salah satu warga
“Ayo!!”. Sahut beberapa warga. Kemudian terjadilah pengkroyokan masal.
Beberapa warga diam mamatung menyaksikan. Bebarapa pula ada yang memaki-maki biang kerok pendatang itu. Dan tak lama terjadi kiamat sugro.
“Berhenti!!!. Hentikan, tidak ada gunanya jika kita menghabisinya. Lagian dilarang agama!”. Teriak mbah Bejo yang baru datang
Beberapa warga di belakang sendiri berhenti dan terdiam ketika menoleh ke arah mbah Bejo. Pemuda yang di ringkus polisi beberapa hari yang lalu sudah berada di belang mbah Bejo.
“Soni….”. Tangis Mbah Iyah berlari dan mendekap anak satu-satunya.
Kegaduhan pun berhenti tiba-tiba. Ketegangan berubah menjadi rasa haru. Tangis air mata mengalir.
Di balik tirai kamar Mr. Film hanya mampu memincingkan mata sipitnya, dan hanya bergumam “Brengsek!!. Bocah itu keluar dari Prodeo”.
***
Dua hari kemudian.
Beberapa orang yang terkait kasus ini di kumpulkan dalam satu ruangan. Termasuk pengelola pantai dan beberapa orang terpandang di kampung serta beberapa perwakilan dari warga.
Soni, Mbah bejo di bantu dengan kawan karibnya Burhan mengutakan beberapa berita. Tentang data penyelewengan anggaran. Diantaranya biaya Parkir dan uang tiket ke Parangtritis, 50% dari hasil itu tidak di masukkan ke dalam Kas Daerah. Serta kasus gunung pasir yang di angkut setiap dini hari, di ekspor ke Singapur secara ilegal.
“Atas dasar apa anda menyatakan seperti itu. Kita selalu melakukan proyek berdasarkan izin semua”. Sangkal Pak Ridwan, salah satu dari kelima pengelola Pantai.
“Jika demikian, apakah anda dapat membuktikan kemana anggaran yang selama ini tidak jelas dikemanakan?. Lalu apakah warga mendapatkan hasil dari semua itu. Bukankah dalam perjanjian di awal dulu menyatakan bahwa warga berhak mendapatkan 10% dari penghasilan wisata dalam bentuk Modal?”. Soni Membela
“Itu persoalan lain. Yang kita bahas sekarang adalah alih fungsi tempat wisata ini”. Kata Pak Ridwan Mencoba menghindar
“Sebelumnya maaf pak. Bukan maksud saya membangkang. Tapi kami warga hanya membutuhkan penjelasan anggaran-anggaran dari bukti yang kami dapat ini”. Jelas Burhan mengarahkan ke inti persoalan.
Beberapa yang datang dalam forum itu hanya mengangukkan kepala.
“Iya, ayo jelaskan kepada kami”. Beberapa warga mulai kecewa dengan motif penipuan yang dilakukan oleh Pihak pengelola pantai. Bahwa alasan-alasan yang selama ini diberikan kepada warga hanya penjelasan palsu. Satu, dua warga akhirnya melempari kacang ke arahnya. Situasi pun kembali tidak mendukung.
Lagi-lagi mbah Bejo datang di situasi yang kacau, kali ini beliau membawa pak Heru, juga salah satu pengelola pantai. Dua hari lalu datang kerumahnya dengan wajah ketakutan.
“Saya akan memberikan pengakuan. Setelah pengakuan ini saya akan menyerahkan diri”. Situasi terdiam sejenak.
“Bukan maksud saya melakukan itu semua. Semua itu saya lakukan dengan terpaksa, dengan beberapa alasan pula. Beberapa kali menolak tawaran penyelewengan dana itu. Di waktu yang bersamaan, keluarga saya juga terancam. Selain alasan yang minim gaji, sedangkan anak saya yang membutuhkan biaya sekolah ada 5, akhirnya saya menerima tawaran itu”. Pak heru menatap Pak Ridwan yang menahan air mata. Seolah mengerti apa yang di rasakan Pak Ridwan.
“Saya juga akan mengakui kesalahanku. Aku lelah melakukan konspirasi seperti ini”. jelas Pak Ridwan
Ruangan sunyi senyap ketika Pak Ridwal mengumpulkan tenaga untuk bercerita. Pak Heru hanya menatap lekat beliau dengan rasa Bangga.
“40% dari dana itu digunakan untuk membuat Penginapan. Sedangkan yang 10% di gunakan uang tutup mulut kami. Kita berempat sebenarnya tidak menyetujui adanya pembangunan penginapan. Kami sadar betul dampak negatif banyak penginapan. Dengan kedok wisata itulah, Mr. Film membawa rekan bisnis manca negara datang dengan budaya mereka. Sengaja memberi virus-virus”. Jelas Pak Ridwan
“Dari awal kami, terutama saya menyadari ini bentuk dari politik dalam menghancurkan moral lokal budaya kita. Kita tahu, sekarang banyak sekali pengunjung pemuda lokal yang mengunakan pakaian yang menyimpang. Banyak juga pemuda yang berpacaran yang berlebihan dengan mengunakan identitas jilbab. Mungkin inilah motif secara tidak langsung berimbas ke budaya Bantul, Notabenenya berpendirian teguh akan pendidikan”. Terangnya lagi.
“Sedangkan penganggkutan gunung pasir itu kami ekspor ke singgapur. Awalnya kami tidak mau. Karena alasan yang sama, yaitu jumlah rupiah yang akan di berikan kami banyak maka kami melakukanjuga”.
Badai panas kini berubah menjadi angin syurga. Menyibak helaian ubun-ubun yang mendidih karena masalah ini. Mbah bejo dan Soni malam ini bisa tidur dengan nafas panjang. Mulai dari pengakuan itu dan bukti-bukti yang jelas, pada hari itu juga pihak kepolisian menetapkan Mr. Film dinyatakan sebagai buronan. (elisa: Juara tiga sekabupaten Bantul yang di selenggarakan oleh IPPNU Bantul)
PESAN TEPIAN PANTAI
Reviewed by elisa
on
Monday, May 03, 2010
Rating:
No comments: