SELONGSONG KEBAHAGIAAN UNTUK MASA DEPAN
Di tepi pantai, debur ombak menghanyutkan butiran pasir, menyeret tubuh ke tenggah lautan, segenggam harapan di tangan terlepas terbawa arus. Ketika letih menyuruh untuk menghentikan langkah, maka tersasar sudah sebuah impian itu.
Semua berhenti berbisik, hanya angin mengibaskan secercah impian, melambai-lambaikan hidup yang bergerak tanpa arah. Impian kasih yang terbina terputus oleh spiral keadaan. Ketika mencoba mengembalikan semangat, sesal lebih cepat datang, maka percuma. Ombak di lautan cepat mematikan semangat hidup.
***
Keramaian kota memberikan nuansa genting. Deru kendaraan memekakkan telingga. Asap mengepul ketika truk pembawa pasir dan batu dari gunung merangkak terseok-seok. Tiada yang tahu bahwa di dada sang kota tengah berteriak, serta terenggah-engah menahan letih. Berharap hujan segera turun. Mendinginkan keringat bercucuran di tengah hiruk pikuk kendaraan yang mengabarkan sebuah kegelisahan berkepanjangan.
Debar-debar hati melemaskan tubuh udin, meremukkan keberanian yang telah terkumpul. Angin yang berhembus semilir berubah panas, memaksa udin keluar dari ruang kelas. Kelima teman yang duduk di dekatnya menatapnya, berusaha menguatkan hati yang tengah kalut.
Hari ini, setiap guru matapelajaran membentak udin lagi dengan beberapa alasan. Udin kian terpenjara, tersasar ketika mencari makna cinta. Masalalu membuatnya berjalan di tempat dan membuat orang membencinya. Harapan hidupnya adalah mendapatkan sutera kasih, namun sutra kasih itu telah terbenam oleh kepalsuan. Benang di hatinya hampir putus saat matapelajaran terakhir juga memarahi habis-habisan.
Udin tertunduk, memandangi buku tulisnya, wajahnya memerah. Kedua temannya menatap lekat. Seolah mengerti yang dirasakan di dalam lubuk hatinya. Semacam ada luka sayatan. Sayatan itu di obati seorang diri, dan tak ingin teman terdekatnya tau ada sayatan yang lebih parah di hatinya. Fitri dan Eni menyadari di hatinya ada ketulusan yang luar biasa, dan isyarat tatapan eni dan fitri membuat udin sedikit bersemangat.
***
Petir datang menggelegar saat tidak ada mendung. Kembali menguncang altar hati udin yang tengah mencari kedamaian. Guru BP datang ke kelas tiga, membawakan selongsong ketakutan. Ketika itu permainan seru dimulai, guru dan murid bermain petak umpet selama 20 menit. Udin berlari dari kelas ke kelas lain, begitu pula dengan guru BP. Seperti pencuri yang tertangkap basah, udin hanya bisa mengikuti kata guru BP saat persembunyiaannya berhasil ditemukan. Semua pertanyaan di jawab apa adanya, akhirnya makian dari guru BP di enyah-nya, diterima dengan kepala tertunduk.
***
”tidak adakah sedikit kebaikan yang terpancar dalam diriku. Sehingga semua memandangku sebelah mata. Apakah karena aku anak pindahan, sehingga aku dianak tirikan oleh guru-guru pengajar. Aku selalu tersasar karena makian yang menyempitkan hatiku yang ingin berubah kembali ke jalan yang salah. Aku mencoba tetap berdiri kokoh diatas seutas tali pita. Di sini tidak ada yang mau mengerti padaku. Aku mencari kedamaian, tapi guru-guru di sini sering menyasarkan diriku”. Kata udin di hadapan kami seraya duduk dimeja depan dan menundukkan kepala di atas kedua tangan yang dilipatkan.
”Sabarlah, kontrol emosimu. Mungkin bapak-ibu memarahimu karena dia tidak mengerti atau belum percaya akan niat muliamu itu. Sebuah usaha tidak akan sia-sia jika kau berani meluruskan prasangka yang telah mendasari bapak ibu Guru yang membencimu. Bisa jadi mereka bersikap seperti itu karena beliau memancingmu agar kau bisa membuktikan gereget di hatimu. Biarkan waktu yang akan mengarahkan kepada keadilan. Kau tidak sendirian, kami ada disini menguatkan langkahmu. Menangislah jika ingin menangis, tak usah menahan air mata, air mata tidak diciptakan untuk seorang perempuan saja, juga untuk laki-laki. Menangislah, buanglah keluh kesahmu itu bersama butiran-butiran air matamu. Selepas menangis akan membuatmu berfikir lebih baik. Yakinlah. Setiap anak pindahan yang mempunyai masalalu yang buruk bisa membawa perubahan yang baik”. Kata Eni sambil menepuk bahunya dari belakan
”Meskipun ayah sering membentakku dan memukulku aku masih menyayanginya. Aku masih ingat betul saat pertama kali aku ingin masuk ke SMA. Aku menangis di hadapan ayah seperti bayi, saat itu aku akan dititipkan kepada orang yang belum aku kenal, bahkan tidak ada ikatan persaudaraan sedikit pun. Saat itu aku seperti seorang anak yang dibuang jauh dari rumah agar aku tidak bisa pulang kembali ke lampung. Di balik pintu, Ibu menangis dengan amat sangat ketika melihat aku di bawa paksa pergi oleh teman dari teman ayahku yang berasal dari jogja. Kini aku mengerti maksud ayah dan ibuku saat itu, harapannya suatu saat ketika aku pulang kelampung, aku membawa selongsong senyuman dan kesuksesan untuk ayah, ibu, kakak dan adikku”. udin kembali bercerita kepada kami
”Itu harus, buktikan!. Sekarang kesuksesan di sana adalah milikmu. Tugasmu adalah berlomba dengan situasi agar kau berhak memiliki sekarung kebahagiaan dan kesuksesan itu. Kami selalu ada untukmu, tapi jangan lupa kalo sudah sukses, kita juga di beri pekerjaan. Jika saat ini ada yang mencambukmu dengan kata-kata yang menghunjam, maka kamilah yang pertamakali yang akan mengobati lukamu. Percayalah, sakitmu sekarang adalah sebuah proses yang harus kau lakukan untuk mendapatkan kejayaan”. Kata fitri seraya tersenyum manis
Siang itu ketika semua siswa pulang, udin kembali tersenyum lepas bersama birunya langit, bersama semilirnya angin, dan melangkah dengan pasti bersama harapan yang bersarang di angan-angan untuk ayah dan ibunya di lampung.
Di tulis oleh Elisa
Diterbitkan :
Tabloid BIAS edisi 8 Desember 2009
Semua berhenti berbisik, hanya angin mengibaskan secercah impian, melambai-lambaikan hidup yang bergerak tanpa arah. Impian kasih yang terbina terputus oleh spiral keadaan. Ketika mencoba mengembalikan semangat, sesal lebih cepat datang, maka percuma. Ombak di lautan cepat mematikan semangat hidup.
***
Keramaian kota memberikan nuansa genting. Deru kendaraan memekakkan telingga. Asap mengepul ketika truk pembawa pasir dan batu dari gunung merangkak terseok-seok. Tiada yang tahu bahwa di dada sang kota tengah berteriak, serta terenggah-engah menahan letih. Berharap hujan segera turun. Mendinginkan keringat bercucuran di tengah hiruk pikuk kendaraan yang mengabarkan sebuah kegelisahan berkepanjangan.
Debar-debar hati melemaskan tubuh udin, meremukkan keberanian yang telah terkumpul. Angin yang berhembus semilir berubah panas, memaksa udin keluar dari ruang kelas. Kelima teman yang duduk di dekatnya menatapnya, berusaha menguatkan hati yang tengah kalut.
Hari ini, setiap guru matapelajaran membentak udin lagi dengan beberapa alasan. Udin kian terpenjara, tersasar ketika mencari makna cinta. Masalalu membuatnya berjalan di tempat dan membuat orang membencinya. Harapan hidupnya adalah mendapatkan sutera kasih, namun sutra kasih itu telah terbenam oleh kepalsuan. Benang di hatinya hampir putus saat matapelajaran terakhir juga memarahi habis-habisan.
Udin tertunduk, memandangi buku tulisnya, wajahnya memerah. Kedua temannya menatap lekat. Seolah mengerti yang dirasakan di dalam lubuk hatinya. Semacam ada luka sayatan. Sayatan itu di obati seorang diri, dan tak ingin teman terdekatnya tau ada sayatan yang lebih parah di hatinya. Fitri dan Eni menyadari di hatinya ada ketulusan yang luar biasa, dan isyarat tatapan eni dan fitri membuat udin sedikit bersemangat.
***
Petir datang menggelegar saat tidak ada mendung. Kembali menguncang altar hati udin yang tengah mencari kedamaian. Guru BP datang ke kelas tiga, membawakan selongsong ketakutan. Ketika itu permainan seru dimulai, guru dan murid bermain petak umpet selama 20 menit. Udin berlari dari kelas ke kelas lain, begitu pula dengan guru BP. Seperti pencuri yang tertangkap basah, udin hanya bisa mengikuti kata guru BP saat persembunyiaannya berhasil ditemukan. Semua pertanyaan di jawab apa adanya, akhirnya makian dari guru BP di enyah-nya, diterima dengan kepala tertunduk.
***
”tidak adakah sedikit kebaikan yang terpancar dalam diriku. Sehingga semua memandangku sebelah mata. Apakah karena aku anak pindahan, sehingga aku dianak tirikan oleh guru-guru pengajar. Aku selalu tersasar karena makian yang menyempitkan hatiku yang ingin berubah kembali ke jalan yang salah. Aku mencoba tetap berdiri kokoh diatas seutas tali pita. Di sini tidak ada yang mau mengerti padaku. Aku mencari kedamaian, tapi guru-guru di sini sering menyasarkan diriku”. Kata udin di hadapan kami seraya duduk dimeja depan dan menundukkan kepala di atas kedua tangan yang dilipatkan.
”Sabarlah, kontrol emosimu. Mungkin bapak-ibu memarahimu karena dia tidak mengerti atau belum percaya akan niat muliamu itu. Sebuah usaha tidak akan sia-sia jika kau berani meluruskan prasangka yang telah mendasari bapak ibu Guru yang membencimu. Bisa jadi mereka bersikap seperti itu karena beliau memancingmu agar kau bisa membuktikan gereget di hatimu. Biarkan waktu yang akan mengarahkan kepada keadilan. Kau tidak sendirian, kami ada disini menguatkan langkahmu. Menangislah jika ingin menangis, tak usah menahan air mata, air mata tidak diciptakan untuk seorang perempuan saja, juga untuk laki-laki. Menangislah, buanglah keluh kesahmu itu bersama butiran-butiran air matamu. Selepas menangis akan membuatmu berfikir lebih baik. Yakinlah. Setiap anak pindahan yang mempunyai masalalu yang buruk bisa membawa perubahan yang baik”. Kata Eni sambil menepuk bahunya dari belakan
”Meskipun ayah sering membentakku dan memukulku aku masih menyayanginya. Aku masih ingat betul saat pertama kali aku ingin masuk ke SMA. Aku menangis di hadapan ayah seperti bayi, saat itu aku akan dititipkan kepada orang yang belum aku kenal, bahkan tidak ada ikatan persaudaraan sedikit pun. Saat itu aku seperti seorang anak yang dibuang jauh dari rumah agar aku tidak bisa pulang kembali ke lampung. Di balik pintu, Ibu menangis dengan amat sangat ketika melihat aku di bawa paksa pergi oleh teman dari teman ayahku yang berasal dari jogja. Kini aku mengerti maksud ayah dan ibuku saat itu, harapannya suatu saat ketika aku pulang kelampung, aku membawa selongsong senyuman dan kesuksesan untuk ayah, ibu, kakak dan adikku”. udin kembali bercerita kepada kami
”Itu harus, buktikan!. Sekarang kesuksesan di sana adalah milikmu. Tugasmu adalah berlomba dengan situasi agar kau berhak memiliki sekarung kebahagiaan dan kesuksesan itu. Kami selalu ada untukmu, tapi jangan lupa kalo sudah sukses, kita juga di beri pekerjaan. Jika saat ini ada yang mencambukmu dengan kata-kata yang menghunjam, maka kamilah yang pertamakali yang akan mengobati lukamu. Percayalah, sakitmu sekarang adalah sebuah proses yang harus kau lakukan untuk mendapatkan kejayaan”. Kata fitri seraya tersenyum manis
Siang itu ketika semua siswa pulang, udin kembali tersenyum lepas bersama birunya langit, bersama semilirnya angin, dan melangkah dengan pasti bersama harapan yang bersarang di angan-angan untuk ayah dan ibunya di lampung.
Di tulis oleh Elisa
Diterbitkan :
Tabloid BIAS edisi 8 Desember 2009
SELONGSONG KEBAHAGIAAN UNTUK MASA DEPAN
Reviewed by elisa
on
Sunday, December 13, 2009
Rating:
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete