Lentik Bulu Mata Sejarah Di Abaikan
Sejauh mata memandang. Gersang di makan alang-alang. Sunyi dalam tabulasi. Cicit burung terkurung dalam sangkar. Sedangkan angin terpasung oleh tipisnya atmosfir. Semua akan hilang sejalan dengan waktu. Jika tidak pandai berkelit, waktu akan memainkan hidup kita, menjadikan perjalanan ini sebuah kidung yang tidak di mengerti. Hidup ini seperti berjalan diatas sehelai tali yang senantiasa di guncang oleh angin, jika tidak bisa seimbang kita akan terjatuh. Begitulah.
Siang dimana matahari mulai condong ke arah barat. Dua pelajar duduk berdampingan di depan rumah. Angin bertiup kencang, daun-daun berguguran di pangkuan Ica dan Arip. Jilbab melambai dan rambut Arip luruh di kenang menutup setengah mata. Mereka adalah pejuang muda yang sedang meregang nyawa. Hatinya selalu bergedup kencang saat puluhan mata penduduk desa keblak melihat ke arahnya. Saat itu juga, nyawa laksana berada di ujung kumis sang singga. Sewaktu-waktu akan di telan, dan harapan hidup tidak ada lagi.
Ica dan Arip, terkesiap dengan realita yang terkadang di pandang tidak adil. Takjub semua rencana tuhan yang sempurna. Tuhan tidak memainkan dadu atau sekedar memainkan angka matematika pada setiap hambanya. Siapapun dia. Tuhan sudah memberikan simponi di relung hati manusia untuk mengenali bercak-bercak kecil di sekelilingnya. Setidaknya seperti galaksi yang melimpah ruah. Sebenarnya tuhan telah memberi maksud-Nya kepada manusia dengan cara yang susah kita mengerti, manusia hanya bisa berusaha untuk menjalankan maksud itu sebatas apa yang kita tangkap dari maksud-Nya itu.
***
Memang bukan perkara yang mudah untuk menjadikan kampung yang terletak di candi keblak ini menjadi komplek wisata. Di timur desa keblak berdiri kokoh candi cepit, atau yang sering di kenal dengan candi ”Banyu tibo”. Letaknya di tengah perkebunan tebu dan berada di bawah gunung. Letaknya tidak jauh dari komplek desa keblak, sekitar ½ km saja.
Di Desa Keblak banyak di temukan bata tua yang terukir relief, seperti ukiran yang ada di candi prambanan. Banyak diantara batu-batu itu kini hilang karena ulah manusia. Selain itu beberapa tulang belulung, dan juga emas batangan pernah di temukan. Hal ini sudah cukup untuk menjadi bukti bahwa dulu ada kehidupan.
Kerindangan pohon di beberapa titik tempat, memberikan kesan mistik tentang adanya lelembut. Itu pun hanya beberapa saja yang percaya, terutama para tetua desa keblak. Bagi Ica dan Arip kerindangan itu hanyalah sebuah tempat yang senantiasa melindungi mereka dari terkaman matahari saat membicarakan nasib desa keblak kedepannya.
Mereka memandang lepas kelangit, melihat akrobat awan hitam dan putih berpadu di langit lepas. Putih kapas dan pekat awan yang bersetubuh tidak juga berhasil memecahkan situasi mereka yang genting. Mereka beralih memandang setiap pangkal pepohonan waru yang tumbuh besar di belakang rumah warga
Ica berdiri menghampiri pohon waru itu. Nampak lumut mulai tumbuh di kulit pohon. Ica memperhatikan dan milihat di tepi pohon tertata batako tua yang mulai mengalami kerusakan. Tenanan akar waru semakin besar, memperparah retakan batako. Ica sangat berhati-hati saat berjalan di atas batako itu. Beberapa dinding pohon dan konblok itu licin dan berlumur karena beberapa hari lalu telah di guyur hujan.
”aku masih ingat ketika para petua dulu merawat tempat ini. Kita menyembunyuikan lidi di atas relief yang berlumut. Setelah sore tiba, kita berlari mengelilingi candi setinggi anak 5-6 tahun. Hari-hari tertentu warga bergotong royong membersihkan rumput serta lumut, kemudian mereka duduk dengan sebatang rokok. Semenjak aku mengerti hitam, putih, kebiasaan hangat itu tidak ada lagi. Sekarang yang tertinggal potongan arca yang tercerai berai entah kemana. Apakah menurutmu kita akan hilang seperti batu-batu itu?”. tanya Ica, ia melangkah menyusuri redupnya pohon. Mengamati sisa pondasi tua yang ada di desa keblak.
Arip berdiri dari tempat duduk dan berjalan cepat menyusul Ica yang berdiri di tengah pondasi candi yang kini raib.
”Kurang lebih seperti itu. Jika kita mencoba mempertahankan, maka kitalah yang akan mati. Tidak ada yang peduli akan pemikiran kita, kita hanya dianggap kutu desa yang tidak tau apa-apa. Kita akan di kucilkan seperti anak kucing yang sakit-sakitan, di usir dengan segayung air ke tubuh kita, dan kita akan berlari terbirit-birit mengantongi makian pemilik rumah dengan rasa lapar dahaga. Itulah yang akan terjadi jika berani menentang para kepala keluarga yang tak sepaham dengan kita”. Papar Arip seraya mengeryipkan mata, melepas kacamata, membersihkannya dan memakaianya lagi.
Angin semilir menyibak raut kecematan mereka. Bau tanah selepas hujan masih begitu menyenggat. Sesekali angin besar menerpa, pohon, ranting bahkan beberapa buah mangga di dekat pohon waru itu terjatuh basah kuyup. Gemuruh angin dan gesekan ranting yang senasa menemani obrolan mereka, membawa mereka kembali kedunia yang mereka rindukan.
***
Berpangku dosa menampung bisikan picik. Hampir semua bergeming tak peduli, kebenaran terpasung, terseok. Lentik bulu mata sejarah tak berarti lagi, semua telah lebur terbuai dolar. Sedikit demi sedikit terlupakan sudah hakikat terciptanya manusia, bermula dari sejarah, dan berakhir di era serba bisa. Sekarang modern telah meraup segalanya, sejarah hanya bisa kita cumbui lewat bayangan saja. Bahkan tinggal sebuah cerita atau kisah yang mudah hilang.
Waktu merubah segalanya, sekiranya begitulah yang tengah dirasakan oleh arip dan ica. Mereka ingin desanya kembali seperti semula. Dimana pohon-pohon menjulang tinggi, sawah terhampar luas, dan di tengah-tengah ada candi yang tersusun tidak sempurna. Serta riuh obrolan warga yang berkerumun di pagi hari dan siang hari membicarakan tentang temuan tulang belulang manusia, dan beberapa cerita mistik dari candi itu. Sebenarnya disanalah letak suatu tempat yang harganya mahal dari apapun.
***
Siapa yang mampu menguasai hati manusi dialah pemenang dalam hidup ini. Jika iblis telah merasuk dan menutup mata manusia demikian tebal, maka harapan mulai luruh terkapar di permukaan laut seperti jasad terapung. Kebaikan pun meregang, tesungkur sebelum kebangkitan itu datang, dan itu pun tidak mudah.
Hari sangat cerah, angin sepoi-sepoi memasuki fantilasi ruang yang di datangi 30 kepala keluarga. Mereka duduk dengan rapi, tetapi di dalam ruagan situasinya sedang gaduh. Sekitar 5 orang petinggi kampung Seperti RT, RW, dan beberapa orang terpandang duduk di bangku depan. Sedangkan di sisi kanan duduk Arip dan Ica.
Semua warga mengumpat bahkan ada penduduk baru yang berlari kedepan, memukul arip tanpa ampun. Secepat kilat, warga berhamburan ikut memukuli mas Arip. Lima petinggi kampung pun mulai turun tangan. Pak RT mencoba menangkis pukulan, akhirnya tersungkur juga. Pak Harjo, dosen dari UMY juga terpelanting saat ingin menarik warga yang membawa sapu hendak di hunjam kepada Arip. Teguran dari orang terpandang saat itu tidak berlaku.
”Berhenti!. Diam!”. teriak Ica melalui microfon
Waktu seolah berhenti. Semua warga mematung, tak sedikitpun yang bergerak.
”Duduk di tempat masing-masing!. Janganlah kau perlakukan nafsumu sebagai raja. Sekirannya aku berdiri di depan bukan mencari tahta, uang atau pujian dari bapak-ibu. Sejak awal saya hanya ingin menyampaikan pengharapan yang ingin kita diskusikan bersama. Bapak ibu telah mengenalku sejak aku dan mas arip kecil. Namun lihatlah apa yang terjadi sekarang. Semua hancur hanya dengan hasutan yang tidak jelas datangnya’
’lihatlah, suram hati kekosongan telah nyata kita lihat sekarang. Seharusnya mas arip lebih pantas kita berikan penghargaan, selama ini dialah yang memperjuangkan desa kita. Tapi kita semua telah menyerbu seperti ini. Sebenarnya lima bulan yanglalu saat kita berdua memutuskan untuk memberi sosialisasi tentang aset yang dimiliki desa, itu bukan karena kita ingin jadi pengusa, tapi ada faktor lain yaitu desa kita akan di beli oleh pihak aisng dengan harga yang amat tinggi.’
’kemudian kemi memusyawarahkan kepada orang terpandang di desa ini. Berbagai pertimangan dan musyawarah tersebut akhirnya keputusan itu menolak tawaran dari pihak asing. Bermula dari itu, kami diberi tugas baru untuk menghentikan penjualan relief candi, baik dengan cara penggelapan maupun terang-terangan yang dilakukan oleh warga’.
‘semenjak itu, mas arip selalu mendapatkan beberapa masalah berturut-turut. Mulai dari tuduhan penggelapan uang operasional untuk penelitian KIR di sekolahnya sejumlah 10.000.000, dan beberapa musibah yang terjadi di dalam keluarganya. Seusai sekolah, mas arip harus bekerja paruh waktu, pulang dini hari untuk mendapatkan uang untuk menganti uang operasional KIR.’
‘muda-mudi karang taruna merasa ada keganjalan, akhirnya mas arip membuat tim inti untuk menguak pembelian relief itu. Selama beberapa bulan, pemuda karang taruna mendapatkan hasil dan bukti. Masalah relief yang di beli dengan harga tinggi hanyalah permainan politik pihak asing. Tujuan mereka agar relief di tempat kita habis, kemudian tanah sejarah ini di beli, dan relief yang dibelinya selama itu akan di bangun menjadi candi kembali.” Papar ica panjang lebar.
Mas arip yang tengah menahan sakit, menatap tajam ica selama berbicara d depan. Pelupuk mata Arip menyimpan genangan peluh yang hendak terjatuh, mengisyaratkan ada cinta dimatanya. Tubuhnya bergetar ketika mengingat posisi hatinya mendambakan sosok seperti ica. Berharap semua itu tidak berakhir seperti kisah sejarah desa keblak.
Sedangkan semua penduduk terbawa oleh mozaik yang luar biasa dari jiwa gadis ini. Kata-kata ica mampu meruntuhkan tembok yang terbuat dari beton, dan mata mereka yang tertutup alumunium telah meleleh.
Kini penduduk candi kebali menyesalinya. Bukti nyata sejarah telah di jaulnya, dan segala sesuatu yang terlanjur adalah sebuah sejarah. Sejarah adalah suatu proses panjang dan melelahkan, saat kisah itu tidak di abadikan dan dikaji lebih jauh, maka sejarah itu tidak akan pernah ada untuk kita, dan kita tidak akan pernah ada tanpa sejarah. (Elisa)
Juara tiga lomba menulis cerpen yang di selenggarakan Kedaulatan Rakyat bekerjasama dengan Alumni Kaca-KR dengan tema “Jogja Dalam Gelora Perjuagan”.
Lentik Bulu Mata Sejarah Di Abaikan
Reviewed by elisa
on
Sunday, December 13, 2009
Rating:
No comments: