Menyambut hajatan Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) Desember 2007 di Bali mendatang, penting untuk menjadikan perubahan iklim global isu strategis baru yang mesti dipertimbangkan dalam kebijakan kelautan dan perikanan (KP) ke depan. Mengapa ? Tentu karena hal yang paling nyata adalah pemanasan global sebagai akibat meningkatnya emisi karbon (C02) dapat mencairkan es di kutub dan meningkatkan permukaan air laut. Bagaimana dampaknya terhadap kondisi ekosistem dan sosial ekonomi pesisir? Bagaimana pula langkah-langkah yang mesti ditempuh untuk mengatasi hal tersebut?
P e m a n a s a n G l o b a l
Pemanasan global terjadi akibat peningkatan suhu global karena terjadinya efek rumah kaca yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dan CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi. Karena itu aktivitas ekonomi yang mengkonsumsi energi fosil (bahan bakar minyak, batubara dan sejenisnya, yang tidak dapat diperbarui) memiliki kontribusi terhadap pemanasan global. Begitu pula deforestasi juga makin memperparah pemanasan global.
Siapa yang seharusnya paling bertanggung jawab atas terjadinya pemanasan global ini ?
Tabel 1 menunjukkan bahwa hingga saat ini negara-negara maju masih mendominasi emisi karbon, meski penduduk mereka hanya 15% dari penduduk dunia. Amerika Serikat, misalnya, meskipun pangsanya terhadap dunia secara persentase menurun, secara absolut sebenarnya terjadi peningkatan 25%. Lihat juga Rusia, Jepang, Jerman, Kanada, dan Inggris. Mereka memiliki emisi karbon/kapita yang jauh di atas negara-negara dunia ketiga. Untuk dunia ketiga memang Cina dan India masih dominan. Kenaikan tertinggi terjadi di Cina, yang dalam kurun waktu 1990-2004 naik dari 2399 metrik ton menjadi 5007 metrik ton atau naik 109%. Emisi karbon perkapitanya 3.8 ton karbon/kapita. Begitu pula India, kurun 1990-2004 secara absolut terjadi kenaikan sebesar 97%, meski pangsanya terhadap dunia hanya naik sekitar 25%. Mengingat jumlah penduduknya yang tinggi, menyebabkan emisi karbon kapita hanya 1.2 ton karbon/kapita tahun 2004. Sementara itu, Indonesia hanya kontribusi 0.9% pada tahun 2004 dan 1.3% tahun 2004, yang hingga saat ini sekitar 85% disebabkan deforestasi.
Tabel 1. Negara-Negara Emiter Karbon
NegaraPangsa terhadap Total Dunia (%)Emisi Karbon/kapita (t CO2) 1990200419902004
Amerika Serikat21.220.919.320.6
Cina10.617.32.13.8
Rusia8.75.313.410.6
India3.04.60.81.2
Jepang4.74.38.79.9
Jerman4.32.812.39.8
Kanada1.82.215.020.0
Inggris2.62.010.09.8
Indonesia0.91.31.21.7
Brazil0.91.11.41.8
Thailand0.40.91.74.2
Sumber : disarikan dari Human Development Report (2007)
Human Development Report (2007) yang baru saja dikeluarkan UNDP juga melaporkan bahwa akibat dari pemanasan global tersebut, kurun waktu 2000-2004, sekitar 262 juta orang telah terkena bencana iklim (climate disasters), dan 98% dari mereka adalah penduduk di dunia ketiga. Sementara itu di negara maju, satu dari 1500 orang merupakan korban bencana iklim. Banjir adalah salah satu bencana yang disebabkan perubahan iklim ini. Peningkatan suhu 3-4 derajat celcius dapat menyebabkan 330 juta orang di dunia akan kehilangan tempat tinggal akibat banjir. Tentu bila tidak diantisipasi korban akan makin meningkat mengingat saat ini sekitar satu milyar orang hidup di pemukiman kumuh yang rentan terkena banjir. Diproyeksikan pada tahun 2020 mereka akan bertambah menjadi 1.4 milyar jiwa dan 2030 menjadi 2 milyar jiwa. Meningkatnya suhu air laut juga akan mempengaruhi badai tropis, dan sekitar 334 juta orang sangat rentan terhadap badai tropis ini. Sementara itu dampaknya terhadap pertanian dan ketahanan pangan sangat dirasakan. Diperkirakan di Afrika, sekitar 60-90 juta hektar akan terkena kekeringan dan merugikan sekitar 26 milyar USD di tahun 2060. Fakta-fakta inilah dapat menggambarkan bahwa dunia ketigalah yang akan menjadi korban dari perubahan iklim global yang sebenarnya disebabkan oleh negara-negara maju.
D a m p a k T e r h a d a p L au t
Memang hal yang paling nyata dari pemanasan global adalah dampaknya terhadap laut, yakni kenaikan permukaan air laut , yang selanjutnya memiliki dampak terhadap kondisi sosial ekonomi. Jika terjadi kenaikan 50 cm di sekitar Karibia maka sepertiga pantainya akan hilang. Hasil penelitian Dasgupta dkk (2007) menunjukkan bahwa kenaikan air laut satu meter akan berdampak terhadap 1.3% penduduk dunia, dan merugikan senilai 1.3% Produk Domestik Bruto (PDB) dunia, 1% wilayah kota, dan 0.4% lahan pertanian (Tabel 2).
Tabel 2. Kenaikan Permukaan Air Laut dan Dampaknya terhadap Sosial Ekonomi Tingkat Kenaikan Permukaan air LautDampak (% dari total global)
LahanPendudukPDBKotaArea PertanianArea lahan basah
10.31.31.31.00.41.9
20.52.02.11.60.73.0
30.73.03.22.51.14.3
41.04.24.73.51.66.0
51.25.66.14.72.17.3
Sumber : Dasgupa dkk (2007) dalam Human Development Report (2007)
Hilangnya pulau-pulau kecil merupakan ancaman langsung, tidak saja berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi dan ekosistem juga terhadap geopolitik kita, mengingat pulau terluar merupakan pijakan penting dalam menentukan batas wilayah dengan negara lain. Selain kenaikan permukaan air laut, peningkatan suhu air laut juga akan berdampak pada keanekaragaman hayati di wilayah pesisir dan laut. Secara umum dengan meningkatnya suhu sebesar 1.5-2.5 derajat celcius, maka 20-30% species tumbuhan dan hewan terancam. Untuk ekosistem pesisir dan laut, terumbu karang dan mangrove kini mulai terancam. Akibat El-Nino tahun 1998 saja sekitar 16% karang dunia rusak, antara lain berupa pemutihan (bleaching). Kini, Indonesia memiliki 50 ribu km2 terumbu karang atau sekitar 18% dari luasan terumbu karang dunia. Namun demikian kerusakan terumbu karang di Indonesia tidak hanya karena faktor iklim, tetapi juga karena pengaruh ulah manusia (antropogenik) baik melalui praktek pengeboman maupun sedimentasi, dan seterusnya. Berdasarkan Status Lingkungan Hidup Indonesia (2005), kita memiliki 590 spesies terumbu karang. Dengan terumbu karang seluas 50 ribu km2, sekitar 5.83% sangat baik, 25% baik, 36.59% sedang,
dan 31.29% rusak. Rusaknya terumbu karang tersebut akan sangat mengganggu kegiatan sosial ekonomi masyarakat, mengingat terumbu karang memiliki fungsi sebagai tempat pemijahan dan bertelur, sehingga sangat mempengaruhi stok ikan. Bayangkan, sekitar 30 juta nelayan di dunia tergantung pada ikan-ikan karang. Dan, setengah kebutuhan protein dan kandungan gizi untuk 400 juta orang miskin di dunia disuplai dari ikan (UNDP, 2007). Belum lagi nilai ekonomi untuk wisata bahari.
Kenaikan permukaan air laut juga mengakibatkan rusaknya ekosistem mangrove. Pada tahun 1990-an luas mangrove kita 9.2 juta hektar, dan tingkat kerusakan 57.6%. Rusaknya mangrove akan berdampak pada abrasi pantai karena tidak adanya penahan gelombang. Begitu pula pencemaran dari sungai ke laut akan meningkat karena tidak adanya penyaring polutan, dan berbagai spesies juga hilang. Serta, kegiatan budidaya perikanan tradisional akan terancam dengan sendirinya. Kejadian banjir sepanjang jalan tol bandara beberapa waktu lalu adalah bukti kerugian akibat rusaknya mangrove di pesisir utara Jakarta
A g e n da
Hal di atas menggambarkan bahwa ekosistem pesisir dan laut sangat rentan terhadap pemanasan global, yang pada akhirnya akan berdampak pada kelompok masyarakat rentan. Nelayan dan kaum miskin di wilayah pesisir akan menjadi korbannya. Hingga saat ini nelayan sudah semakin sulit menentukan kapan sebaiknya melaut karena ”musim” ikan semakin sulit diprediksi. Meski laut menjadi korban, sebenarnya laut pula yang dapat menyelamatkan bumi karena dengan fitoplankton-nya mampu menyerap emisi karbon. Oleh karena itu, membangun dan mengelola pesisir dan laut ke depan mesti memperhatikan asumsi laut sebagai korban dan sekaligus laut sebagai penyelamat terhadap pemanasan global. Dengan demikian, makna laut dalam pembangunan baik dalam ekonomi maupun jasa lingkungan kini makin penting, sehingga perlu pengarus-utamaan kelautan dalam kebijakan nasional, khususnya dalam kebijakan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Sehingga, masa depan laut kita sangat tergantung dari kecerdasan kita mendesain kebijakan mengantisipasi perubahan iklim global ini. (/aby)
(*) Penulis adalah :
Kepala Divisi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, PKSPL IPB; Dosen Ekologi Politik
Fakultas Ekologi Manusia IPB
Sumber : http://www.duaberita.com
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete